KONSEP UTAMA PENDEKATAN PSIKOANALITIK
Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan resolusi dan integrasi
fase-fase perkembangan psikoseksual yang berhasil. Perkembangan
kepribadian yang gagal merupakan akibat dari resolusi sejumlah fase
perkembangan psikoseksual yang tidak memadai. id, ego,dan superego
membentuk dasar bagi struktur kepribadian. Kecemasan adalah akibat
perepresian konflik-konflik dasar. mekanisme-mekanisme pertahana ego
dikembangkan untuk mengendalikan kecemasan. Proses-proses tak sadar
berkaitan erat dengan tingkah laku yang muncul sekarang.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN EKSISTENSIAL-HUMANISTIK
Pendekatan eksistensial-humanistik menekankan kondisi-kondisi inti
manusia. Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan keunikan
masing-masing individu. Kesadaran diri berkembang sejak bayi.
Determinasi diri dan kecenderungan ke arah pertumbuhan adalah
gagasan-gagasan sentral. Psikopatologi adalah akibat dari kegagalan
dalam mengaktualisasikan potensi. Pembedaan-pembedaan dibuat antara
“rasa bersalah eksistensial” dan “rasa bersalah neurotik” serta antara
“kecemasan eksistensial” dan kecemasan neurotik”. Berfokus pada saat
sekarang dan pada apa menjadi seseorang itu; yang berarti memiliki
orientasi ke masa depan.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN CLIENT-CENTERED
Konseli memiliki kemampuan untuk menjadi sadar atas masalah-masalahnya
serta cara-cara mengatasinya. Kepercayaan diletakkan pada kesanggupan
konseli untuk mengarahkan dirinya sendiri. kesehatan mental adalah
keselarasan antara diri ideal dan diri real. Maladjusmnet adalah akibat
dari kesenjangan anatara diri ideal dan diri real. Berfokus pada saat
sekarang serta pada mengalami dan mengekspresikan perasaan-perasaan.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN GESTALT
Berfokus pada apa dan bagaimana mengalami disini-dan-sekarang (here and
now) untuk membantu konseli agar menerima polaritas-polaritas dirinya.
Konsep-konsep utama mencakup tanggung jawab pribadi, urusan yang tak
selesai, penghindaran, mengalami dan menyadari saat sekarang. Ini adalah
terapi ekperiensial yang menekankan perasaan-perasaan dan
pengaruh-pengaruh urusan yang tak selesai terhadap perkembangan
kepribadian sekarang.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN ANALISIS TRANSAKSIONAL
Berfokus pada permainan-permainan yang dimainkan untuk menghindari
keakraban dalam transaksi-transaksi. Kepribadian terdiri atas ego Orang
Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anak. Konseli diajari untuk menyadari ego
yang mana yang berperan dalam transaksi-transaksi yang dijalankan.
Permainan, penipuan, putusan-putusan dini, skenario kehidupan, dan
internalisasi perintah-perintah adalah konsep-konsep utama.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN BEHAVIORAL
Berfokus pada tingkah laku yang nampak, ketepatan dalam menyusun
tujuan-tujuan treatment, pengembangan rencana-rencana treatment yang
spesifik, dan evaluasi objektif atas hasil-hasil terapi. Terapi
berdasarkan prinsip-prinsip teori belajar. Tingkah laku yang normal
dipelajari melalui perkuatan dan peniruan. Tingkah laku yang abnormal
adalah akibat dari belajar yang keliru. Ia menekankan tingkah laku
sekarang dan hanya memberikan sedikit perhatian kepada sejarah masa
lampau dan sumber-sumber gangguan.
KONSEP UTAMA PENDEKTAN RASIONAL-EMOTIF
Neurosis adalah pemikiran dan tingkah laku irrasional. Gangguan-gangguan
emosional berakar pada masa kanak-kanak, tetapi dikekalkan pada
reindoktrinasi sekarang. Sistem keyakinan adalah penyebab
masalah-masalah emosional. Oleh karenanya, konseli ditentang untuk
menguji kesahihan keyakinan-keyakinan tertentu.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN REALITAS
Pendekatan ini menolak model medis dan konsep tentang penyakit mental.
Berfokus pada apa yang bisa dilakukan sekarang, dan menolak masa lampau
sebagai variabel utama. Pertimbangan nilai dan tanggung jawab moral
ditekankan. Kesehatan mental sama dengan penerimaan atas tanggung jawab.
Sumber: Gerald Corey. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Kamis, 17 Mei 2012
Anak Retradasi Mental
PENGERTIAN ANAK RETARDASI MENTAL
Berdasarkan definisi dari Asosiasi
Retardasi Mental di Amerika (America Associatian On Mental
Retardasi-AAMR), anak dengan keterbelakangan mental mempunyai 2 ciri
utama sebelum usia 18 th :
- Memiliki taraf kecerdasan yang secara signifikan berada di bawah rata-rata kecerdasan umum anak sebayanya, keadaan ini diindikasikan dengan nilai IQ yang berada di bawah 70. Kemudian kemampuan belajarnya lebih lambat dan memiliki prestasi berada jauh di bawah rata-rata kelasnya dan merata dihampir seluruh mata pelajaran.
- Tidak dikuasainnya perilaku adaptif, yaitu perilaku yang berkaitan denngan ketrampilan kegiatan harian
Anak dengan keterbelakangan mental
menunjukan keterbatasan dalam kecerdasan praktis yaitu untuk mengarahkan
diri untuk melakukan aktifitas harian dan kecerdasan social yaitu
melakukan perilaku yang sesuai dengan situasi social. Biasanya anak
dengan keterbelakangan mental mengalami kesulitan dalam ranah perilaku
adaptasi seperti komunikasi, bantu diri dan aspek lainnya.
PENYEBAB RETARDASI MENTAL
Penyebab retardasi mental secara umum dapat terjadi karena factor genetic, biologis non keturunan, dan lingkungan
1. Faktor genetic
Lebih dari 150 kerusakan gen yang
diketahui dapat menyebabkan keterbelakangan mental, walaupun kebanyakan
jarang terjadi. Dalam hal ini gen gagal memberikan perintah memproduksi
enzim atau pembentukan enzim yang salah. Keadaan ini berlangsung sejak
individu berada pada masa konsepsi. Terjadi kelainan kromosom karena
penambahan atau pengurangan suatu kromosom, akibatnya terjadi kelainan
fisik maupun fungsi-fungsi kecerdasannya.
2. Biologis non-keturunan
a. Radiasi sinar X,
dapat menyebabkan cacat pada Ibu selama kehamilan, walaupun bahaya
tidak diketahui dengan jelas radiasi dapat mengakibatkan bermacam-macam
gangguan pada bayi yang belum lahir termasuk kematian, kelainan bentuk,
kerusakan otak, kemudahan terkena kanker tertentu, umur pendek dan
mutasi gen yang akibatnya baru terasa pada beberapa generasi berikutnya.
b. Keadaan gizi Ibu yang buruk ketika kehamilan,
hal ini cukup beralasan kalau mengingat bahwa janin yang sedang tumbuh
memperoleh makanan dari aliran darah ibunya, melalui membrane yang semi
permiabel dari plasenta dan tali pusar. Kekurangan gizi bagi Ibu hamil
mengakibatkan pembentukan sel-sel otak yang terjadi selama kehamilan
mengalami gangguan. Berdasarkan penelitian anak-anak yang cacat lahir
dan keterbelakangan mental diakibatkan oleh kekurangan gizi pada saat di
dalam kandungan.
c. Obat-obatan, alasan
penting kekhawatiran penggunaan obat-obatan ialah terjadi kerusakan
anatomi pada anggota tubuh sekelompok bayi dan dicurigai mengakibatkan
cacat lahir yang ibunya meminum obat thalidomid selama hamil. Termasuk
di dalamnya beberapa antibiotic, hormon, steroid, antikoagulan,
narkotika dan obat penenang serta beberapa obat halusinogenik seperti
LSD dan PCP.
d. Faktor Rhesus,
menunjukkan adanya factor kimia yang terdapat dalam darah sekitar 85%
manusia, walaupun terdapat variasi ras dan etnik. Selama kehamilan,
anti bodi dalam darah ibu dapat menyerang darah Rh-positif bayi yang
belum lahir. Penghancuran yang terjadi dapat dibatasi sehingga timbul
sebagai anemia ringan atau ekstensif sehingga mengakibatkan celebral
palsy, ketulian, keterbelakangan mental bahkan kematian.
3. Lingkungan
Selain keadaan genetic dan biologis,
factor lingkungan juga dapat berperan sebagai penyebeb retardasi mental
terutama berkaitan dengan kesempatan stimulasi yang diberikan pada anak.
Misalnya penolakan orangtua, anak yang tidak diterima oleh orang tuanya
sangat mungkin telah mendapat stimulasi yang cukup untuk optimalisasi
perkembangannya.
PENANGANAN ANAK DENGAN RETARDASI MENTAL
Untuk dapat mengoptimalkan kemampuan anak
dengan retardasi mental, penanganannya harus secara komprehensif antara
orangtua, psikolog(konselor), docter, guru dan terapis. Untuk bidang
pendidikan, penanganan anak retardasi mental dapat ditekankan pada
pengembangan ketrampilan bersosialisasi dan aktivitas bantu diri
sederhana.
Sebagai seorang guru dalam memberikan materi pelajaran, ada beberapa cara yang diterapkan seperti :
1.Mengenalkan materi pelajaran yang baru
dengan perlahan-lahan. Pastikan bahwa anak memahami apa yang
disampaikan. Beri kesempatan untuk berlatih secara langsung. Misalkan
untuk mengajarkan bahwa ketika masuk sekolah, anak harus berjabat tangan
dengan guru dan mengucapkan salam, begitu seterusnya
2.Dalam memberikan instruksi atau
keterangan hendaknya guru membantu anak memusatkan perhatiannya terlebih
dahulu pada apa yang akan disampaikan oleh guru. Misalnya, dengan
menggunakan kata-kata “coba perhatikan Ibu”,”lihat”,”dengar”.
3.Keterangan yang disampaikan hendaknya
diterangkan dalam bentuk yang nyata dan secara bertahap. Misalnya, untuk
mengajarkan bahwa selesai makan anak harus mencuci tangan, guru harus
melatihkan setiap langkahnya
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Studi Kasus Konseling Keluarga Dengan Pendekatan Konseling Directive
Titik tolak perbedaan dari bermacam-macam
tehnik dalam konseling sebenarnya terletak pada cara pendekatannya,
pada kesempatan ini penulis berperan dengan menggunakan konseling
Directive yang diperkenalkan oleh E.G. Williamson yang sering disebut
juga konseling Behavioristik (perubahan tingkah laku). Pendekatan dalam
konseling ini didasarkan pada konsep bahwa masalah orang itu berkembang
dan merupakan hasil kontak dengan lingkungan luarnya. Tujuan utama dari
konseling Directive adalah membantu klien mengganti tingkah laku
emosional dan impulsif dengan tingkah laku yang rasional.
Study kasus ini, penulis lakukan dalam
rangka pemenuhan tugas mata kuliah Konseling Keluarga jenjang S1 BK.
Dengan latar belakang masalah yang terjadi pada seorang siswa, bernama
Friska (F) umur 16 tahun, kelas 2 SMU di sekolah X Kota Semarang. Ia
mempunyai orang tua yang semuanya berkarir dalam bidang Roti dan
Catering, dan ia merupakan anak tunggal dalam keluarga, karena itu ia
sangat dimanjakan oleh orang tuanya.
Management By Objective(MBO)
Prinsip Manajemen By Objective
1. Pengertian Manajeman
Manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengatur (Malayu S.P. Hasibuan, 2003: 1). Manajemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Yang diatur dalam manajemen antara lain adalah: manusia, uang, metode, material, mesin, pasar, dan sebagainya. Komponen-komponen tersebut diatur agar berdaya guna, berhasil guna, terintegrasi, dan terkoordinasi dalam mencapai tujuan yang optimal. Pengaturan komponen-komponen tersebut melalui suatu proses yang terdiri dari: 1) perencanaan, 2) pengorganisasian, 3) pengarahan, dan 4) pengendalian. Malayu S.P. Hasibuan mendefinisikan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
1. Pengertian Manajeman
Manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengatur (Malayu S.P. Hasibuan, 2003: 1). Manajemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Yang diatur dalam manajemen antara lain adalah: manusia, uang, metode, material, mesin, pasar, dan sebagainya. Komponen-komponen tersebut diatur agar berdaya guna, berhasil guna, terintegrasi, dan terkoordinasi dalam mencapai tujuan yang optimal. Pengaturan komponen-komponen tersebut melalui suatu proses yang terdiri dari: 1) perencanaan, 2) pengorganisasian, 3) pengarahan, dan 4) pengendalian. Malayu S.P. Hasibuan mendefinisikan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Pengertian Prinsip Manajeman By Objective
Sebutan “manajemen sesuai objektif” pertama dipopulerkan oleh Peter Drucker dalam bukunya tahun 1954 yang berjudul ‘The Practice of Management’. MBO sulit didefinisikan, namun secara umum esensi sistem MBO, terletak pada penetapan tujuan tujuan-tujuan umum oleh para manajer dan bawahan yang bekerja bersama, penentuan bidang utama setiap individu yang hasilnya dirumuskan secara jelas dalam bentuk hasil-hasil (sasaran) yang dapat diukur dan diharapkan, dan ukuran penggunaan ukuran-ukuran tersebut sebagai satuan pedoman pengoperasian satuan-satuan kerja serta penilaian masing penilaian sumbangan masing-masing anggota.
Gagasan dasar MBO adalah bahwa MBO merupakan proses partisipatif, secara aktif melibatkan manajer dan para anggota pada setiap tingkatan organisasi. Management by objective (MBO) atau manajemen by objective atau manajemen sesuai objektif adalah suatu proses persetujuan terhadap objektif di dalam satu organisasi sehingga manajemen dan karyawan menyetujui objektif ini dan memahami apa posisi mereka di dalam organisasi tersebut
Management by objective (MBO) atau juga disebut (diterjemahkan) Manajemen Berdasarkan Sasaran, yaitu suatu cara untuk melibatkan para karyawan di dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pekerjaan mereka. (Sondang P. Siahaan: 2004: 362).
Menurut Nanang Fattah (2009: 33) menjelaskan bahwa Management by objective (MBO) merupakan teknik manajeman yang membantu memperjelas dan menjabarkan tahapan tujuan organisasi. Lebih lanjut Nanang Fattah menjelaskan bahwa dengan Management by objective (MBO) dilakukan proses penentuan tujuan bersama antara atasan dan bawahan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Management by objective (MBO) adalah suatu cara di dalam mencapai sasaran hasil maupun dalam merencanakan program melibatkan semua pihak (stakeholders) pada lembaga yang bersangkutan
Sebutan “manajemen sesuai objektif” pertama dipopulerkan oleh Peter Drucker dalam bukunya tahun 1954 yang berjudul ‘The Practice of Management’. MBO sulit didefinisikan, namun secara umum esensi sistem MBO, terletak pada penetapan tujuan tujuan-tujuan umum oleh para manajer dan bawahan yang bekerja bersama, penentuan bidang utama setiap individu yang hasilnya dirumuskan secara jelas dalam bentuk hasil-hasil (sasaran) yang dapat diukur dan diharapkan, dan ukuran penggunaan ukuran-ukuran tersebut sebagai satuan pedoman pengoperasian satuan-satuan kerja serta penilaian masing penilaian sumbangan masing-masing anggota.
Gagasan dasar MBO adalah bahwa MBO merupakan proses partisipatif, secara aktif melibatkan manajer dan para anggota pada setiap tingkatan organisasi. Management by objective (MBO) atau manajemen by objective atau manajemen sesuai objektif adalah suatu proses persetujuan terhadap objektif di dalam satu organisasi sehingga manajemen dan karyawan menyetujui objektif ini dan memahami apa posisi mereka di dalam organisasi tersebut
Management by objective (MBO) atau juga disebut (diterjemahkan) Manajemen Berdasarkan Sasaran, yaitu suatu cara untuk melibatkan para karyawan di dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pekerjaan mereka. (Sondang P. Siahaan: 2004: 362).
Menurut Nanang Fattah (2009: 33) menjelaskan bahwa Management by objective (MBO) merupakan teknik manajeman yang membantu memperjelas dan menjabarkan tahapan tujuan organisasi. Lebih lanjut Nanang Fattah menjelaskan bahwa dengan Management by objective (MBO) dilakukan proses penentuan tujuan bersama antara atasan dan bawahan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Management by objective (MBO) adalah suatu cara di dalam mencapai sasaran hasil maupun dalam merencanakan program melibatkan semua pihak (stakeholders) pada lembaga yang bersangkutan
3. Kekuatan dan Kelemaham Manajeman By Objective
Kekuatan MBO antara lain adalah: 1) MBO melakukan integrasi fungsi perencanaan dan pengawasan ke dalam suatu sistem yang rasional dalam manajemen, 2) MBO mendorong organisasi untuk menentukan tujuan dari tingkatan atas hingga tingkatan bawah dari manajemen, 3) MBO memfokuskan pada hasil akhir dari pada niat yang baik maupun faktor personal. 4) MBO mendorong adanya manajemen diri dan komitmen dari setiap orang melalui partisipasi pada setiap tingkatan manajemen dalam penentuan tujuan.
Hasil survei terhadap manajer, Tosy & Carroll menyatakan kekuatan Manajeman By Objective adalah 1). Memungkinkan para individu mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. 2). Membantu dalam perencanaan dengan membuat para manajer menetapkan tujuan dan sasaran. 3). Memperbaiki komunikasi antara manajer dan bawahan. 4). Membuat para individu lebih memusatkan perhatiannya pada tujuan organisasi. 5). Membuat proses evaluasi lebih dapat disamakan melalui pemusatan pada pencapaian tujuan tertentu. Ini memungkinkan para bawahan mengetahui kualitas pekerjaan mereka dalam hubungannya dengan tujuan organisasi.
Kekuatan MBO antara lain adalah: 1) MBO melakukan integrasi fungsi perencanaan dan pengawasan ke dalam suatu sistem yang rasional dalam manajemen, 2) MBO mendorong organisasi untuk menentukan tujuan dari tingkatan atas hingga tingkatan bawah dari manajemen, 3) MBO memfokuskan pada hasil akhir dari pada niat yang baik maupun faktor personal. 4) MBO mendorong adanya manajemen diri dan komitmen dari setiap orang melalui partisipasi pada setiap tingkatan manajemen dalam penentuan tujuan.
Hasil survei terhadap manajer, Tosy & Carroll menyatakan kekuatan Manajeman By Objective adalah 1). Memungkinkan para individu mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. 2). Membantu dalam perencanaan dengan membuat para manajer menetapkan tujuan dan sasaran. 3). Memperbaiki komunikasi antara manajer dan bawahan. 4). Membuat para individu lebih memusatkan perhatiannya pada tujuan organisasi. 5). Membuat proses evaluasi lebih dapat disamakan melalui pemusatan pada pencapaian tujuan tertentu. Ini memungkinkan para bawahan mengetahui kualitas pekerjaan mereka dalam hubungannya dengan tujuan organisasi.
Menurut Nanang Fattah (2009: 34) ada empat kekuatan dari Manajeman By Objective yaitu:
a. Pengelolaan cenderung lebih baik karena keharusan membuat program.
b. Peranan dan fungsi struktur organisasi harus jelas.
c. Individu mengikat diri pada tugas-tugasnya (commited).
d. Pengawasan lebih efektif berkembang.
a. Pengelolaan cenderung lebih baik karena keharusan membuat program.
b. Peranan dan fungsi struktur organisasi harus jelas.
c. Individu mengikat diri pada tugas-tugasnya (commited).
d. Pengawasan lebih efektif berkembang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kekuatan dari Manajeman By Objective adalah:
a. MBO melakukan integrasi fungsi perencanaan dan pengawasan ke dalam suatu sistem yang rasional dalam manajemen.
b. MBO mendorong organisasi untuk menentukan tujuan dari tingkatan atas hingga tingkatan bawah dari manajemen.
c. MBO memfokuskan pada hasil akhir.
d. MBO mendorong adanya manajemen diri dan komitmen dari setiap orang melalui partisipasi pada setiap tingkatan manajemen dalam penentuan tujuan.
e. Memperbaiki komunikasi antara manajer dan bawahan.
f. Membuat para individu lebih memusatkan perhatiannya pada tugas masing-masing dan tujuan organisasi.
g. Pengawasan lebih efektif berkembang.
a. MBO melakukan integrasi fungsi perencanaan dan pengawasan ke dalam suatu sistem yang rasional dalam manajemen.
b. MBO mendorong organisasi untuk menentukan tujuan dari tingkatan atas hingga tingkatan bawah dari manajemen.
c. MBO memfokuskan pada hasil akhir.
d. MBO mendorong adanya manajemen diri dan komitmen dari setiap orang melalui partisipasi pada setiap tingkatan manajemen dalam penentuan tujuan.
e. Memperbaiki komunikasi antara manajer dan bawahan.
f. Membuat para individu lebih memusatkan perhatiannya pada tugas masing-masing dan tujuan organisasi.
g. Pengawasan lebih efektif berkembang.
Adapun kelamahan dari Manajeman By
Objective adalah pertama, negosiasi dan pembuatan keputusan dalam
pendekatan MBO membutuhkan banyak waktu, sehingga kurang cocok bila
diterapkan pada lingkungan bisnis yang sangat dinamis. Kedua, adanya
kecenderungan karyawan untuk bekerja memenuhi sasarannya tanpa
mempedulikan rekan sekerjanya, sehingga kerjasama tim berkurang. Ada
juga yang bilang MBO hanyalah sekedar formalitas belaka, pada akhirnya
yang menentukan sasaran hanyalah manajemen puncak sendiri.
Sedangkan menurut hasil survei terhadap manajer, Tosy & Carroll menyatakan kelemahan Manajeman By Objective ada dua kategori kelemahan-kelemahan khas untuk organisasi yang mempunyai program MBO formal: 1). Kelemahan-kelemahan yang melekat (inherent) pada proses MBO. Ini mencakup konsumsi waktu dan usaha yang cukup besar dalam proses belajar untuk menggunakan teknik-teknik MBO serta meningkatkan banyaknya kertas kerja. 2). Kelemahan-kelemahan dalam pengembangan dan implementasi MBO oleh berbagai fungsi.
Sedangkan menurut hasil survei terhadap manajer, Tosy & Carroll menyatakan kelemahan Manajeman By Objective ada dua kategori kelemahan-kelemahan khas untuk organisasi yang mempunyai program MBO formal: 1). Kelemahan-kelemahan yang melekat (inherent) pada proses MBO. Ini mencakup konsumsi waktu dan usaha yang cukup besar dalam proses belajar untuk menggunakan teknik-teknik MBO serta meningkatkan banyaknya kertas kerja. 2). Kelemahan-kelemahan dalam pengembangan dan implementasi MBO oleh berbagai fungsi.
Menurut Nanang Fattah (2009: 35) ada empat kelemahan Manajeman By Objective yaitu:
a. Tidak mudah menanamkan pemahaman tentang konsep-konsep dan pemberian motivasi kepada bawahan untuk mempelajari penggunaan teknik Manajeman By Objective secara tepat.
b. Tidak mudah menentukan tujuan dengan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berpartisipasi.
c. Tidak mudah menilai prestasi kerja, karena tidak setiap prestasi dapat diukur secara kuantitas.
d. Perubahan yang diinginkan Manajeman By Objective dalam perilaku manajer kemungkinan akan menimbulkan maslah dalam proses MBO titik berat akan bergeser dari menilai menjadi membantu bawahan.
a. Tidak mudah menanamkan pemahaman tentang konsep-konsep dan pemberian motivasi kepada bawahan untuk mempelajari penggunaan teknik Manajeman By Objective secara tepat.
b. Tidak mudah menentukan tujuan dengan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berpartisipasi.
c. Tidak mudah menilai prestasi kerja, karena tidak setiap prestasi dapat diukur secara kuantitas.
d. Perubahan yang diinginkan Manajeman By Objective dalam perilaku manajer kemungkinan akan menimbulkan maslah dalam proses MBO titik berat akan bergeser dari menilai menjadi membantu bawahan.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kelemahan Manajeman By Objective adalah:
- Tidak mudah menanamkan tentang konsep-konsep dan pemberian motivasi kepada bawahan untuk mempelajari penggunaan teknik MBO secara tepat
- Tidak mudah menentukan tujuan dengan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berpartisipasi
- Tidak mudah menilai prestasi kerja, karena tidak setiap prestasi dapat diukur secara dikuantitas
- Pembuatan keputusan membutuhkan waktu yang lama
- Kecenderungan karyawan bekerja memenuhi sasaran tanpa memperdulikan rekan kerja
- Kecenderungan karyawan bekerja memenuhi sasaran tanpa memperdulikan rekan kerja
Terapi Anak Hiperaktif/ADHD
Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder
atau ADHD adalah kondisi psikologis yang dimulai pada anak usia dini dan
sering berlanjut menjadi dewasa. Secara umum, laki-laki memiliki
tingkat prevalensi yang lebih tinggi dari gangguan daripada wanita. Ada
tiga set luas dari gejala yang berhubungan dengan ADHD: kurangnya
perhatian dan distractibility, hiperaktif, dan impulsif. Hal ini tidak
perlu memiliki gejala-gejala dari semua tiga wilayah untuk memenuhi
kriteria ADHD dan banyak orang dewasa mengalami gejala kognitif terutama
dari kurangnya perhatian dan distractibility. Gejala-gejala hiperaktif
dan impulsif lebih sering terjadi pada laki-laki dan biasanya lebih
parah pada awal masa kanak-kanak. Selain gejala-gejala utama, banyak
anak dengan ADHD mengalami masalah sekunder, termasuk kesulitan akademis
yang signifikan selama tahun-tahun awal mereka sekolah dan / atau
kesulitan interpersonal dengan rekan-rekan.
ADHD diklasifikasikan sebagai
“Developmental Disorder” yang berarti gejala harus hadir oleh anak usia
dini dan mereka biasanya menetap menjadi remaja atau dewasa. Gejala yang
terkait dengan ADHD bervariasi secara signifikan di seluruh umur dalam
hal keparahan dan beberapa gejala dapat mengatasi seluruhnya oleh remaja
akhir atau dewasa. Seorang anak dengan ADHD mungkin memiliki kesulitan
duduk untuk jangka waktu selama kelas, misalnya, sedangkan dewasa muda
mungkin merasa “gelisah” selama kelas dan memiliki masalah dengan
konsentrasi dan perhatian-span selama kuliah. Orang dewasa mungkin
menghadapi berbagai masalah, seperti masalah awal dan menyelesaikan
tugas-tugas di tempat kerja.(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Konseling Terapi Bgi Penderita Obsesive-Compulsif Disorder(OCD)
A. Pengertian Obsesif-Kompulsif
Gangguan Obsesif-Kompulsif disingkat GOK atau Obbesive-Compulsif Dissorder (OCD), ditandai dengan adanya obsesi dan kompulsi. Obsesi adalah
gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak diinginkan dan
mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh atau menakutkan. Kompulsi adalah desakan atau paksaan untuk melakukan sesuatu yang akan meringankan rasa tidak nyaman akibat obsesi.
Dalam kriteria DSM-IV-TR mengartikan
bahwa Obsesi adalah pikiran yang berulang dan menetap, impuls-impuls
atau dorongan yang menyebabkan kecemasan, Kompulsif adalah perilaku dan
tindakan mental repetitif yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan
ketegangan.
Gangguan Obsesif-kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder,
OCD) adalah kondisi dimana individu tidak mampu mengontrol dari
pikiran-pikirannya yang menjadi obsesi yang sebenarnya tidak
diharapkannya dan mengulang beberapa kali perbuatan tertentu untuk dapat
mengontrol pikirannya tersebut untuk menurunkan tingkat kecemasannya.
Gangguan obsesif-kompulsif merupakan gangguan kecemasan dimana dalam
kehidupan individu didominasi oleh repetatif pikiran-pikiran (obsesi)
yang ditindaklanjuti dengan perbuatan secara berulang-ulang (kompulsi)
untuk menurunkan kecemasannya.
B. Penyebab Gangguan Obsesif Kompulsif
Penyebab Obsesif Kompulsif adalah:
1) Genetik – (Keturunan).
Mereka yang mempunyai anggota keluarga yang mempunyai sejarah penyakit
ini kemungkinan beresiko mengalami OCD (Obsesif Compulsive Disorder).
2) Organik –
Masalah organik seperti terjadi masalah neurologi dibagian – bagian
tertentu otak juga merupakan satu faktor bagi OCD. Kelainan saraf
seperti yang disebabkan oleh meningitis dan ensefalitis juga adalah
salah satu penyebab OCD.
3) Kepribadian
– Mereka yang mempunyai kepribadian obsesif lebih cenderung mendapat
gangguan OCD. Ciri-ciri mereka yang memiliki kepribadian ini ialah
seperti keterlaluan mementingkan aspek kebersihan, seseorang yang
terlalu patuh pada peraturan, cerewet, sulit bekerja sama dan tidak
mudah mengalah.
4) Pengalaman masa lalu
– Pengalaman masa lalu/lampau juga mudah mencorakkan cara seseorang
menangani masalah di antaranya dengan menunjukkan gejala OCD.
5) Gangguan obsesif-kompulsif erat kaitan dengan depresi
atau riwayat kecemasan sebelumnya. Beberapa gejala penderita
obsesif-kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala yang mirip dengan
depresi.
6) Konflik
– Mereka yang mengalami gangguan ini biasanya menghadapi konflik jiwa
yang berasal dari masalah hidup. Contohnya hubungan antara suami-istri,
di tempat kerja, keyakinan diri.
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Kecerdasan Majemuk
Teori Kecerdasan Majemuk pertama kali
dikembangkan oleh Dr. Howard Gardner dari Harvard Univewrsity pada tahun
1983. Selama ini gagasan kecerdasan berdasarkan pengujian IQ adalah
sangat terbatas. Dr. Gardner berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai 8
kecerdasan yang berbeda untuk berbagai potensi manusia yang lebih luas
pada anak-anak dan orang dewasa. 8 kecerdasan tersebut adalah:
1. Kecerdasan Linguistik (Kata-kata)
Merupakan kepekaan untuk berbicara dan menulis, kemampuan untuk mempelajari bahasa dan kemampuan menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk secara efektif menggunakan bahasa untuk mengekspresikan diri secara retoris atau puitis, dan bahasa sebagai sarana untuk mengingat informasi. Penulis, penyair, pengacara, dan pembicara adalah mereka yang mempunyai kecerdasan linguistik yang tinggi.
Merupakan kepekaan untuk berbicara dan menulis, kemampuan untuk mempelajari bahasa dan kemampuan menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk secara efektif menggunakan bahasa untuk mengekspresikan diri secara retoris atau puitis, dan bahasa sebagai sarana untuk mengingat informasi. Penulis, penyair, pengacara, dan pembicara adalah mereka yang mempunyai kecerdasan linguistik yang tinggi.
2. Kecerdasan Logika (Matematika)
Kecerdasan Logika-Matematika terdiri dari
kemampuan untuk menganalisa masalah secara logis, melakukan operasi
matematika, dan menyelidiki masalah ilmiah. Menurut Gardner ini
merupakan kemampuan untuk mendeteksi pola, alasan deduktif dan berpikir
logis. Kecerdasan ini sering dikaitkan dengan pemikiran ilmiah dan
matematika.
3. Kecerdasan Spasial (Gambar)
Kecerdasan Spasial melibatkan kemampuan untuk mengenali dan menggunakan pola ruang yang luas.
Kecerdasan Spasial melibatkan kemampuan untuk mengenali dan menggunakan pola ruang yang luas.
4. Kecerdasan Musikal
Kecerdasan musikal melibatkan kemampuan dalam kinerja, komposisi dan apresiasi terhadap pola musik. Ini mencakup kemampuan untuk mengenali dan menulis pola titi nada musik, nada, dan ritme. Menurut Gardner kecerdasan musik secara struktural berjalan hampir paralel dengan kecerdasan linguistik.
Kecerdasan musikal melibatkan kemampuan dalam kinerja, komposisi dan apresiasi terhadap pola musik. Ini mencakup kemampuan untuk mengenali dan menulis pola titi nada musik, nada, dan ritme. Menurut Gardner kecerdasan musik secara struktural berjalan hampir paralel dengan kecerdasan linguistik.
5. Kecerdasan Intrapersonal (Refleksi diri)
Kecerdasan Intrapersonal mencakup kemampuan untuk memahami diri sendiri, untuk menghargai perasaan, ketakutan, dan motivasi. Dalam pandangan Gardner melibatkan kemampuan memiliki model kerja yang efektif dari diri kita sendiri, dan untuk menggunakan informasi tersebut untuk mengatur hidup kita.
Kecerdasan Intrapersonal mencakup kemampuan untuk memahami diri sendiri, untuk menghargai perasaan, ketakutan, dan motivasi. Dalam pandangan Gardner melibatkan kemampuan memiliki model kerja yang efektif dari diri kita sendiri, dan untuk menggunakan informasi tersebut untuk mengatur hidup kita.
6. Kecerdasan Kinestetik (Olah tubuh)
Kecerdasan kinestetik jasmani memerlukan potensi menggunakan seluruh tubuh seseorang atau bagian tubuh untuk memecahkan masalah. Ini adalah kemampuan untuk menggunakan kemampuan mental untuk mengkoordinasikan gerakan tubuh. gardner melihat aktivitas mental dan fisik sebagai sesuatu yang berkaitan.
Kecerdasan kinestetik jasmani memerlukan potensi menggunakan seluruh tubuh seseorang atau bagian tubuh untuk memecahkan masalah. Ini adalah kemampuan untuk menggunakan kemampuan mental untuk mengkoordinasikan gerakan tubuh. gardner melihat aktivitas mental dan fisik sebagai sesuatu yang berkaitan.
7. Kecerdasan Interpersonal (hubungan antar manusia)
Kecerdasan Interpersonal berkaitan dengan kemampuan untuk memahami kemauan, motivasi, dan keinginan orang lain. Hal ini memungkinkan orang untuk bekerja secara efektif dengan orang lain. Pendidik, tenaga penjual, pemimpin agama dan politik, dan konselor semua membutuhkan kecerdasan interpersonal yang bekerja dengan baik.
Kecerdasan Interpersonal berkaitan dengan kemampuan untuk memahami kemauan, motivasi, dan keinginan orang lain. Hal ini memungkinkan orang untuk bekerja secara efektif dengan orang lain. Pendidik, tenaga penjual, pemimpin agama dan politik, dan konselor semua membutuhkan kecerdasan interpersonal yang bekerja dengan baik.
8. Kecerdasan Naturalis (hubungan dengan alam)
Kecerdasan naturalis memungkinkan manusia untuk mengenali, mengelompokkan dan menggunakan fitur tertentu dari lingkunghan. Kecerdasan ini menggabungkan deskripsi kemampuan inti dengan karakterisasi peran yang banyak mempunyai nilai budaya.
Kecerdasan naturalis memungkinkan manusia untuk mengenali, mengelompokkan dan menggunakan fitur tertentu dari lingkunghan. Kecerdasan ini menggabungkan deskripsi kemampuan inti dengan karakterisasi peran yang banyak mempunyai nilai budaya.
Sebagian besar lembaga pendidikan kita
masih menitikberatkan pemberdayaan peserta didik pada kecerdasan
linguistik dan kecerdasan logika, sedangkan kemampuan yang lain masih
belum diberdayakan secara maksimal. Dr. Gardner juga mengatakan bahwa
kita juga harus menempatkan perhatian yang sama pada individu yang
menunjukkan prestasi dalam kecerdasan lain: para seniman, arsitek,
musisi, naturalis, desainer, penari, terapis, pengusaha dan lain-lain
yang memperkaya dunia dimana kita hidup. Sayangnya banyak dari anak-anak
yang sangat berbakat tidaka cukup punya ruang gerak yang cukup luas di
sekolah dimana mereka seharusnya dapat mengembangkan bakat yang mereka
miliki secara optimal.
Salah satu fitur yang paling menonjol
dari kecerdasan majumuk adalah bagaimana ia menyediakan 8 jalur potensi
yang berbeda untuk belajar. Jika guru kesulitan menjangkau siswa dengan
cara liguistik atau logis, teori kecerdasan majemuk menyarankan beberapa
cara lain dimana pelajaran mungkin disajikan untuk memfasilitasi
pembelajaran yang efektif. Penggabungan beberapa hal dalam kecerdasan
majemuk merupakan ide pembelajaran yang sangat menarik dan efektif.
Penyajian materi pelajaran bisa dilakukan dengan lebih kaya dan lebih
kreatif. (dari berbagai sumber)
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Problema Kesulitan Belajar Pada Anak
Pada saat ini, berbagai persoalan yang
sering terjadi pada anak-anak usia sekolah sangatlah beraneka
ragam. Salah satunya adalah Kesulitan Belajar atau “Learning
Disabilities (LD), LD dapat didefinisikan sebagai hambatan/gangguan
belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang
signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang
seharusnya dicapai. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan di dalam
sistem saraf pusat otak (gangguan neurobiologis) yang dapat menimbulkan
gangguan perkembangan seperti gangguan perkembangan bicara, membaca,
menulis, pemahaman, dan berhitung.
Dalam kurun waktu 2 tahun, saya menjadi
pengajar di Sekolah Dasar Islam Bilingual An-Nissa Kota Semarang, banyak
kiranya anak-anak didik disana mengalami problem tersebut. Padahal
jikalau tidak ditangani dengan baik dan benar akan menimbulkan berbagai
bentuk gangguan, mulai dari gangguan emosional (psikiatrik) yang akan
berdampak buruk bagi perkembangan kualitas hidupnya di kemudian hari.
Kepekaan orangtua, guru di sekolah serta orang-orang di sekitarnya
sangat membantu dalam mendeteksinya, sehingga anak dapat memperoleh
penanganan dari tenaga profesional sedini dan seoptimal mungkin, sebelum
menjadi terlambat.
Kesulitan Belajar kadang-kadang tidak
terdeteksi dan tidak dapat terlihat secara langsung. Setiap individu
yang memiliki kesulitan belajar sangatlah unik. Seperti misalnya,
seorang anak “dyslexia”, yang sulit membaca, menulis dan mengeja, tetapi
sangat pandai dalam matematika. Pada umumnya, individu dengan kesulitan
belajar memiliki intelegensi rata-rata bahkan diatas rata-rata.
Seseorang terlihat “normal” dan tampak sangat cerdas tetapi sebaliknya
ia mengalami hambatan dan menunjukkan tingkat kemampuan yang tidak
semestinya dicapai dibandingkan dengan yang seusia dengannya. Walau
demikian, individu dengan kesulitan belajar bisa sukses di sekolah, di
dunia kerja, dalam hubungan antar-individu, dan di dalam masyarakat bila
disertai dengan dukungan dan perhatian yang tepat.
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
10 Ciri Guru Profesional
Menjadi seorang guru atau pendidik yang
baik dan proesional tentu tidak mudah, namun mau tidak mau kita harus
berusaha untuk menjadi profesional dan dihormati oleh anak didik,
masyarakat sekitar dan rekan seprofesi.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang guru untuk mendapat pengakuan sebagai guru yang baik dan berhasil, diantaranya adalah:
1. Selalu punya energi untuk siswanya
Seorang guru yang baik menaruh perhatian pada siswa di setiap percakapan atau diskusi dengan mereka. Guru yang baik juga punya kemampuam mendengar dengan seksama.
2. Punya tujuan jelas untuk Pelajaran
Seorang guru yang baik menetapkan tujuan yang jelas untuk setiap pelajaran dan bekerja untuk memenuhi tujuan tertentu dalam setiap kelas.
3. Punya keterampilan mendisiplinkan yang efektif
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif sehingga bisa mempromosikan perubahan perilaku positif di dalam kelas.
4. Punya keterampilan manajemen kelas yang baik
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik dan dapat memastikan perilaku siswa yang baik, saat siswa belajar dan bekerja sama secara efektif, membiasakan menanamkan rasa hormat kepada seluruh komponen didalam kelas.
5. Bisa berkomunikasi dengan Baik Orang Tua
Seorang guru yang baik menjaga komunikasi terbuka dengan orang tua dan membuat mereka selalu update informasi tentang apa yang sedang terjadi di dalam kelas dalam hal kurikulum, disiplin, dan isu lainnya. Mereka membuat diri mereka selalu bersedia memenuhi panggilan telepon, rapat, email dan sekarang, twitter.
6. Punya harapan yang tinggi pada siswa nya
Seorang guru yang baik memiliki harapan yang tinggi dari siswa dan mendorong semua siswa dikelasnya untuk selalu bekerja dan mengerahkan potensi terbaik mereka.
7. Pengetahuan tentang Kurikulum
Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang kurikulum sekolah dan standar-standar lainnya. Mereka dengan sekuat tenaga memastikan pengajaran mereka memenuhi standar-standar itu.
8. Pengetahuan tentang subyek yang diajarkan
Hal ini mungkin sudah jelas, tetapi kadang-kadang diabaikan. Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan yang luar biasa dan antusiasme untuk subyek yang mereka ajarkan. Mereka siap untuk menjawab pertanyaan dan menyimpan bahan menarik bagi para siswa, bahkan bekerja sama dengan bidang studi lain demi pembelajaran yang kolaboratif.
9. Selalu memberikan yang terbaik untuk Anak-anak dan proses Pengajaran
Seorang guru yang baik bergairah mengajar dan bekerja dengan anak-anak. Mereka gembira bisa mempengaruhi siswa dalam kehidupan mereka dan memahami dampak atau pengaruh yang mereka miliki dalam kehidupan siswanya, sekarang dan nanti ketika siswanya sudah beranjak dewasa.
10. Punya hubungan yang berkualitas dengan Siswa
Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan saling hormat menghormati dengan siswa dan membangun hubungan yang dapat dipercaya.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang guru untuk mendapat pengakuan sebagai guru yang baik dan berhasil, diantaranya adalah:
1. Selalu punya energi untuk siswanya
Seorang guru yang baik menaruh perhatian pada siswa di setiap percakapan atau diskusi dengan mereka. Guru yang baik juga punya kemampuam mendengar dengan seksama.
2. Punya tujuan jelas untuk Pelajaran
Seorang guru yang baik menetapkan tujuan yang jelas untuk setiap pelajaran dan bekerja untuk memenuhi tujuan tertentu dalam setiap kelas.
3. Punya keterampilan mendisiplinkan yang efektif
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif sehingga bisa mempromosikan perubahan perilaku positif di dalam kelas.
4. Punya keterampilan manajemen kelas yang baik
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik dan dapat memastikan perilaku siswa yang baik, saat siswa belajar dan bekerja sama secara efektif, membiasakan menanamkan rasa hormat kepada seluruh komponen didalam kelas.
5. Bisa berkomunikasi dengan Baik Orang Tua
Seorang guru yang baik menjaga komunikasi terbuka dengan orang tua dan membuat mereka selalu update informasi tentang apa yang sedang terjadi di dalam kelas dalam hal kurikulum, disiplin, dan isu lainnya. Mereka membuat diri mereka selalu bersedia memenuhi panggilan telepon, rapat, email dan sekarang, twitter.
6. Punya harapan yang tinggi pada siswa nya
Seorang guru yang baik memiliki harapan yang tinggi dari siswa dan mendorong semua siswa dikelasnya untuk selalu bekerja dan mengerahkan potensi terbaik mereka.
7. Pengetahuan tentang Kurikulum
Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang kurikulum sekolah dan standar-standar lainnya. Mereka dengan sekuat tenaga memastikan pengajaran mereka memenuhi standar-standar itu.
8. Pengetahuan tentang subyek yang diajarkan
Hal ini mungkin sudah jelas, tetapi kadang-kadang diabaikan. Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan yang luar biasa dan antusiasme untuk subyek yang mereka ajarkan. Mereka siap untuk menjawab pertanyaan dan menyimpan bahan menarik bagi para siswa, bahkan bekerja sama dengan bidang studi lain demi pembelajaran yang kolaboratif.
9. Selalu memberikan yang terbaik untuk Anak-anak dan proses Pengajaran
Seorang guru yang baik bergairah mengajar dan bekerja dengan anak-anak. Mereka gembira bisa mempengaruhi siswa dalam kehidupan mereka dan memahami dampak atau pengaruh yang mereka miliki dalam kehidupan siswanya, sekarang dan nanti ketika siswanya sudah beranjak dewasa.
10. Punya hubungan yang berkualitas dengan Siswa
Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan saling hormat menghormati dengan siswa dan membangun hubungan yang dapat dipercaya.
Jadi Peer Educator,Why NOT????
Aduh gimana nih? Apa sebaiknya aku
putusin aja tuh cowok?” Barangkali tipe pertanyaan semacam itu pernah
kita dengar dari teman yang curhat kepada kita. Biasanya kita mencoba
memberikan beberapa solusi atau alternatif jawaban. Sebenarnya, secara
tidak langsung kita sedang mempraktikkan salah satu bentuk metode, yaitu
pendidik sebaya.
Pendidik sebaya atau peer educator adalah
suatu prinsip yang bekerja menurut dasar dari remaja, untuk remaja, dan
oleh remaja. Umumnya, kita akan lebih terbuka dan bebas ngomongin
permasalahannya dengan teman-teman yang seusia. Metode ini secara
sederhana menggunakan teman sebaya/seusia sebagai konselor/pendidik
untuk membantu teman lainnya agar dapat mengambil keputusan sendiri atas
permasalahan yang dihadapinya.
Makanya, pendidik sebaya hanya berperan
seperti sebuah cermin. Sebab, dia hanya merefleksikan perilaku atau
memperlihatkan sisi lain yang mungkin terabaikan. Dengan demikian,
remaja dapat menilai perilakunya sendiri kemudian mengambil suatu
keputusan yang tepat bagi dirinya.
Namun, untuk menjadi seorang pendidik sebaya yang benar bukanlah hal gampang karena ini menyangkut kepribadian kita.
Bagaimana orang
lain mau terbuka dan berkata jujur kalau ternyata kita dikenal suka
”ngember” atau dicap ”telmi” (telat berpikir). Jadi, syarat pertama
menjadi pendidik sebaya adalah memiliki sifat bisa dipercaya, jujur,
perhatian/empati, dan cerdas.
Jika kita merasa memiliki sifat itu,
barangkali kita bisa sedikit berbangga karena kita lolos syarat pertama
untuk dapat menjadi seorang pendidik sebaya. Namun, tunggu dulu. Itu
semua belum cukup. Kita masih harus membekali diri dengan beberapa
karakteristik berikut:
1. Penerimaan terhadap dorongan remaja.
Berfantasi merupakan hal wajar dilakukan
setiap orang. Kadang-kadang dorongan atau fantasi dapat digolongkan
dalam kelompok ”positif” (impian), misalnya dorongan untuk menjadi juara
kelas, atau kelompok ”negatif” (fantasi). Oleh sebab itu, sebagai
pendidik sebaya, langkah pertama kita harus bisa menerima apa pun macam
impian atau fantasi teman kita.
Namun, yang perlu ditekankan oleh
pendidik sebaya adalah impian atau fantasi yang bersifat merugikan tidak
sampai diwujudkan ke perilaku. Sebab itu, kita perlu memberikan
informasi yang berimbang tentang akibat positif dan negatif apabila
fantasi atau impian itu dilakukan. Dengan demikian, dalam proses
pengambilan keputusan, teman kita mampu mempertimbangkan secara matang.
2. Memiliki sikap percaya diri.
Seorang pendidik sebaya harus mampu
mengembangkan sikap positif terhadap dirinya. Sikap positif tersebut
akan membantu meningkatkan kepercayaan diri kita dalam berinteraksi atau
memberikan informasi kepada teman kita. Sebaliknya, apabila kita tidak
mampu mengembangkan kepercayaan diri, kita akan sulit untuk
berinteraksi.
Selain harus mampu meningkatkan
kepercayaan diri, pendidik sebaya juga harus mampu meningkatkan
kepercayaan diri temannya agar dapat menerima kelebihan dan kekurangan
dirinya.
3. Toleransi pada perbedaan.
Tidak ada seorang pun yang memiliki sifat
identik, bahkan anak kembar sekalipun. Hal ini berarti bahwa seorang
pendidik sebaya harus memperlakukan setiap orang secara berbeda.
Pemecahan untuk satu permasalahan yang sama antara teman yang satu dapat
berbeda untuk teman yang lain karena latar belakang sifat dan
kepribadian.
Selain itu, kita juga perlu mengembangkan
sikap toleransi terhadap perbedaan. Kita harus bisa menghargai
nilai-nilai yang dipegang oleh teman kita walaupun kita tidak merasa
cocok.
4. Mengembangkan rasa humor.
Selalu bertampang serius akan dianggap
membosankan dan bersikap menggurui. Namun, bukan berarti bahwa kita
harus selalu melucu karena kita dapat dianggap tidak serius. Sebab itu,
kita harus bisa melihat situasi dan kondisi teman kita. Rasa humor
diperlukan ketika teman kita terlihat terlalu tegang atau cemas sehingga
dapat membuat teman kita menjadi lebih rileks.
Rasa humor dapat juga membantu untuk
mendapatkan perhatian dari teman kita atau ketika ingin menyampaikan
sebuah topik menjadi lebih menarik. Jadi, sederhananya, suasana atau
informasi haruslah dibuat serileks dan senyaman mungkin.
5. Memiliki minat terhadap dunia remaja.
Seorang pendidik harus mengetahui isu-isu
yang sedang tren di kalangan remaja dan bahasa-bahasa pergaulan remaja.
Sebab itu, kita harus memiliki pengetahuan yang luas.
6. Memiliki dasar-dasar keterampilan konseling.
Dalam belajar menjadi pendidik sebaya,
kita perlu mengetahui dua sikap dasar, yaitu sikap netral (non
judgmental) dan menyadari keterbatasan diri.
Bersikap netral, tidak menilai bahwa
perilaku itu salah atau benar, ketika teman bercerita tentang perilaku
atau sikapnya dapat membantu kita memperoleh informasi tentang
permasalahan dan alasan perilaku teman. Sementara sikap sadar akan
keterbatasan diri dapat membantu dalam mengukur kemampuan diri kita
untuk memutuskan apakah permasalahan yang dihadapi teman kita perlu
dirujuk pada seorang ahli atau tidak.
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Revitalisasi Bimbingan dan Konseling Dalam Era Globalisasi
Sejak tahun 1960, Bimbingan Konseling
sudah dirasakan esensialnya dalam pendidikan di Indonesia. Pada tahun
1975, pemerintah telah menetapkan bimbingan konseling dalam pedoman
kurikulum1975. Undang – undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 6, mengukuhkan serta menegaskan bahwa
konselor adalah pendidik, artinya Bimbingan Konseling merupakan salah
satu unsur penting dalam pendidikan. Sebagai salah satu unsur sistem
pendidikan, layanan bimbingan dan konseling mempunyai peran besar dalam
membantu peserta didik dalam rangka mengembangkan kepribadiannya bagi
peranannya dimasa yang akan datang. Dalam hal ini Konselor merupakan
agent utama bagi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling dalam
proses pendidikan.
Persoalan membimbing adalah persoalan
semua orang, begitu pula dengan kewajiban membimbingpun adalah kewajiban
semua orang. Dalam berbagai makna, proses bimbingan sebenarnya
dilakukan oleh hampir semua orang. Pada saat manusia berkumpul dan
membentuk sebuah kepentingan bersama, disadari ataupun tidak di situ
proses pembimbingan mulai dilakukan.
Begitu juga dalam dunia pendidikan formal
kita. Pendidikan yang diartikan sebagai sebuah usaha sadar manusia
dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi manusia (siswa), tentu
perlu kesadaran dalam melakukan upaya-upaya pembimbingan. Dengan kata
lain, bimbingan yang dilakukan dalam pendidikan formal perlu dikelola
secara profesional. Tidak sebagai tindakan trial and error atau sekadar
untuk menutup kekurangan jam wajib mengajar.
Bimbingan konseling adalah proses
pemberian bantuan secara sistematis dan intensif kepada siswa dalam
rangka pengembangan pribadi, sosial, studi dan kariernya demi masa
depannya yang dilakukan oleh konselor yang telah memiliki ketrampilan
khusus dibidangnya. Drs M Ridwan MPd (1998) menegaskan bahwa pelaksanaan
bimbingan dan konseling (BK) di sekolah, antara lain bertujuan agar
siswa dapat memahami dan menerima diri sendiri, serta merencanakan masa
depan atas kekuatannya sendiri. Menurut Mursell (1993), ia menyatakan
bahwa kegiatan BK yang berhasil mempunyai tekanan khusus yang mencakup
empat aspek pokok, yakni
1) menurut esensinya BK mempunyai tujuan dan makna penuh, dan siswa sebagai subyek peduli pada makna itu
2) proses kegiatan BK ialah usaha mencari dan menemukan diri sendiri;
3) hasil-hasil dari proses BK dapat
berupa pemahaman, pengertian, kejelasan, kesadaran, perubahan
perilaku/kebiasaan, dan perkembangan
4) hasil-hasil demikian harus dapat dimanfaatkan siswa untuk menghadapi tantanganmasa depan dan kesempatan dalam hidupnya.
Sejalan dengan semangat “Pendidikan Untuk
Semua” yang membawa imp[likasi semua sekolah wajibmenampung siswa dari
berbagai latar belakang, maka dapat diperkirakan permasalahan yang
dihadapi oleh para guru/sekolah berkaitan dengan masalah siswa akan
semakin berkembang dan semakin rumit. Dengan mencermati tujuan dan
gambaran kegiatan BK yang berhasil di atas maka yang selama ini menjadi
kelemahan dan tidak dapat dijangkau oleh praksis pendidikan kiranya
dapat digarap dan ditangani oleh BK. Hal ini merupakan salah satu
argument mengenai pentingnya Revitalisasi BK sebagai bagian tak
terpisahkan dari upaya pendidikan di sekolah.
Maka, dalam rangka revitalisasi dimaksud,
setidaknya ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian bersama.
Pertama, perlunya pemahaman yang proporsional terhadap keberadaan BK
sebagai bagian tak terpisahkan dalam praksis pendidikan, baik oleh para
penentu kebijakan, kepala sekolah, maupun tenaga kependidikan
lainnya-yang diwujudkan dalam kebijakan, peraturan, dan perhatian yang
memadai, sehingga BK tidak menjadi “anak tiri” di sekolah. Sekadar
mengingatkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional telah menegaskan bahwa pendidikan merupakan “usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan/atau latihan bagi peranannya di masa datang”. Dari pengertian ini
dapat dipahami bahwa upaya pendidikan secara menyeluruh, lengkap, dan
mantap meliputi tiga kegiatan pokok, yakni bimbingan, pengajaran, dan
latihan, yang saling terkait, saling menunjang, dan bahkan tidak bisa
dipisahkan dengan lainnya.
Kedua, pentingnya disusun-dan terus
diperbarui-format mengenai arah, strategi, dan bentuk kegiatan BK yang
relevan dengan harapan dan tantangan yang ada saat ini dan masa depan.
Guru pembimbing* (konselor sekolah) sangat membutuhkan acuan yang
mencerahkan dan prospektif dalam melaksanakan tugasnya.
Ketiga, pentingnya guru pembimbing-baik
secara perorangan maupun melalui kelompok profesi-terus-menerus
meningkatkan kinerjanya. Berbagai bentuk keraguan atau anggapan “miring”
tentang BK maupun guru pembimbing sudah sepantasnya disikapi secara
positif, kreatif, dan proaktif. Dunia pendidikan dan masa depan bangsa
sungguh membutuhkan kehadiran pelayanan BK yang “anggun” dan berwibawa!
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Konseling Lintas Budaya
A. Pengantar
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian da¬ri masyarakat di sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini meng¬artikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda¬-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu ben¬tuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar¬ pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea), tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal dengan istilah nilai/value (Kluckhohn, 1962, Albert. 1963. Dalam Biggs, Pulvino & Beck: 19 ... ;Fraenkel, 1977).
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi individu untuk mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku yang akan ditampakkannya. Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan menjadi suatu gaya hidup individu tersebut. Dengan demikian, yang diinginkannya untuk masa depannya sudah mulai tergambar (Weinstock & O'dowd, 1970. Dalam Biggs, Pulvino Beck, 19 ).
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada. Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja yang dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi, in¬dividu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat akan di¬lakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu untuk mengadopsi nilai nilai budaya tertentu.
B. Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan be¬berapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.
Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.
C. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi¬ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe¬narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan 1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:
1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman;
2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan dan masyarakat;
3. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hu¬bungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri;
4. Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebu¬dayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan;
5. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju kearah kesatuan kebuda¬yaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.
D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut:
Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.
Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain sebagainya.
2. Peran Masyarakat.
Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut:
“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur ¬membadut".
llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara meniru atau mencontoh.
Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu, masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1988)
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu, maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar reward and punishment). Dari sinilah proses pelestarian budaya itu bisa berjalan dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.
C. Konseling Lintas Budaya
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas buda¬ya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang bera¬sal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin¬ orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (indivi¬dual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai pada definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat konseling tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar¬ harus dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri¬-sendiri. Klien yang berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur. Klien yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal dari asia tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber ¬yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lon¬ner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan memba¬wa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyara¬kat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).
D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.
1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual differences).
2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::
Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori konse!ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing masing penemunya. Oleh karena itu, teori-teori konseling yang diciptakan ada kemungkinan tidak akan terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga, tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor semakin tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui moral dan muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang cocok (fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang berbeda pula muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan pada bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepen¬tingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor, “Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan seobyektif mungkin?”
4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup.
Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak konselor. Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor tidak boleh secara mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan konselor.
Klien datang ke ruang konseling seringka!i dengan membawa masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya. Masalah ini seringkaii memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor ¬yang tidak sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya.
Intervensi nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai yang dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor.
Jika perbedaan yang muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu adalah langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan itu demi kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan melanggar kode etik profesi konseling.
5. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Dalam melaksanakan konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien. Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling.
Hal demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya yang dimak¬sud.
Konselor sebagai pelaksana konseling di lapangan tentu saja harus dibekali dengan seperangkat ilmu yang dapat dipergunakan sebagai “senjata” untuk berhubungan dengan klien. Tanpa adanya seperangkat kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh konselor, maka sulit bagi konselor untuk bisa membantu klien mengatasi masalahnya.
a. kompetensi yang dikehendaki
Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling.
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai suatu budaya tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya
b. Karakteristik konselor yang efektif
Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia.
Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling !intas budaya.
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik
Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pri¬bumi (indegenous).
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian da¬ri masyarakat di sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini meng¬artikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda¬-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu ben¬tuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar¬ pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea), tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal dengan istilah nilai/value (Kluckhohn, 1962, Albert. 1963. Dalam Biggs, Pulvino & Beck: 19 ... ;Fraenkel, 1977).
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi individu untuk mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku yang akan ditampakkannya. Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan menjadi suatu gaya hidup individu tersebut. Dengan demikian, yang diinginkannya untuk masa depannya sudah mulai tergambar (Weinstock & O'dowd, 1970. Dalam Biggs, Pulvino Beck, 19 ).
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada. Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja yang dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi, in¬dividu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat akan di¬lakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu untuk mengadopsi nilai nilai budaya tertentu.
B. Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan be¬berapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.
Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.
C. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi¬ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe¬narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan 1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:
1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman;
2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan dan masyarakat;
3. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hu¬bungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri;
4. Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebu¬dayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan;
5. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju kearah kesatuan kebuda¬yaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.
D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut:
Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.
Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain sebagainya.
2. Peran Masyarakat.
Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut:
“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur ¬membadut".
llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara meniru atau mencontoh.
Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu, masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1988)
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu, maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar reward and punishment). Dari sinilah proses pelestarian budaya itu bisa berjalan dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.
C. Konseling Lintas Budaya
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas buda¬ya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang bera¬sal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin¬ orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (indivi¬dual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai pada definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat konseling tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar¬ harus dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri¬-sendiri. Klien yang berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur. Klien yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal dari asia tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber ¬yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lon¬ner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan memba¬wa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyara¬kat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).
D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.
1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual differences).
2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::
Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori konse!ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing masing penemunya. Oleh karena itu, teori-teori konseling yang diciptakan ada kemungkinan tidak akan terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga, tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor semakin tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui moral dan muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang cocok (fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang berbeda pula muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan pada bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepen¬tingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor, “Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan seobyektif mungkin?”
4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup.
Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak konselor. Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor tidak boleh secara mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan konselor.
Klien datang ke ruang konseling seringka!i dengan membawa masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya. Masalah ini seringkaii memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor ¬yang tidak sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya.
Intervensi nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai yang dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor.
Jika perbedaan yang muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu adalah langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan itu demi kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan melanggar kode etik profesi konseling.
5. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Dalam melaksanakan konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien. Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling.
Hal demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya yang dimak¬sud.
Konselor sebagai pelaksana konseling di lapangan tentu saja harus dibekali dengan seperangkat ilmu yang dapat dipergunakan sebagai “senjata” untuk berhubungan dengan klien. Tanpa adanya seperangkat kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh konselor, maka sulit bagi konselor untuk bisa membantu klien mengatasi masalahnya.
a. kompetensi yang dikehendaki
Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling.
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai suatu budaya tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya
b. Karakteristik konselor yang efektif
Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia.
Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling !intas budaya.
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik
Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pri¬bumi (indegenous).
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Landasan Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Landasan
atau dasar program merupakan suatu keputusan awal dan menentukan yang
harus diambil oleh pemegang kebijakan pendidikan di sekolah bagi
terwujudnya suatu program bimbingan dan konseling sekolah. Merancang
keputusan dasar yang kuat memerlukan usaha kerjasama semua unsur dan
personel sekolah, termasuk dengan orang tua dan masyarakat, sehingga
program bimbingan dan konseling bisa diterima dan memberikan manfaat
bagi semua siswa. Dengan demikian, selama tahap pengembangan program
bimbingan dan konseling, para stakeholder hendaknya bermusyawarah untuk
menentukan filosofi, misi dan fungsi dan isi keseluruhan program. Dasar
pengembangan program yang lengkap merupakan hal yang sangat penting
untuk memastikan bahwa program bimbingan dan konseling sekolah menjadi
suatu bagian utuh dari seluruh program pendidikan untuk keberhasilan
para siswa.
Proses penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah dilakukan melalui delapan tahap aktivitas, yaitu :
1) mengkaji kebijakan dan produk hukum yang relevan;
2) menganalisis harapan dan kondisi sekolah;
3) menganalisis karakteristik dan kebutuhan siswa;
4) menganalisis program, pelaksanaan, hasil, dukungan serta faktor-faktor penghambat program sebelumnya;
5) merumuskan tujuan program baik umum maupun khusus;
6) merumuskan alternatif komponen dan isi kegiatan;
7) menetapkan langkah-langkah kegiatan pelaksanaan program, dan
8) merumuskan rencana evaluasi pelaksanaan dan keberhasilan program.
1) Mengkaji kebijakan dan produk hukum yang relevan;
Mengkaji
kebijakan dan produk hukum yang relevan baik tingkat institusi
(sekolah) maupun nasional dimaksudkan agar pengembangan program
bimbingan dan konseling sekolah tidak bertentangan dengan kebijakan umum
yang berlaku dan ditentukan oleh pemerintahan pusat, daerah maupun
sekolah sebagai tempat implementasi program. Karena itu, sebelum
memulai melakukan penyusunan program konselor perlu mengkaji terlebih
dahulu produk-produk kebijakan yang berlaku. Sebagai contoh dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan tidak mungkin suatu sekolah
menggunakan standar kurikulum selain yang ditentukan dan diberlakukan
secara nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS).
2) Menganalisis harapan dan kondisi sekolah;
Menganalisis
harapan dan kondisi sekolah merupakan langkah yang harus dilakukan
konselor untuk mengetahui keadaan, kekuatan, kelemahan atau kekurangan
sekolah. Sangat tepat jika dilakukan analisis dengan teknik SWOT
(Strengt, Weakness, Oppornuty, Treath), sehingga dapat diketahui secara
tepat kekuatan, kelemahan, peluang atau kesempatan, dan ancaman yang
dihadapi sekolah. Dalam melakukan analisis ini, jika diperlukan sekolah
dapat meminta bantuan tenaga ahli. Merumuskan tujuan yang ingin dicapai
sekolah ditetapkan berdasarkan atas kebijakan yang berlaku dan analisis
kondisi sekolah.
3) Menganalisis karakteristik dan kebutuhan siswa;
Program
bimbingan dan konseling merupakan rancangan aktivitas dan kegiatan yang
akan memfasilitasi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Artinya,
program bimbingan dan konseling di sekolah harus menyediakan sistem
layanan yang bermanfaat bagi kemajuan akademik, karir dan perkembangan
pribadi-sosial para siswa dalam menyiapkan dan menghadapi tantangan masa
depan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan bangsanya di masa depan.
Berdasarkan itu semua, maka semua pemegang kebijakan pendidikan di
sekolah lebih memahami karakteristik dan kebutuhan siswa yang merupakan
subjek layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Data atau informasi tentang karakteristik dan kebutuhan siswa merupakan
komponen atau faktor-faktor yang berkaitan dengan penentuan tujuan
layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Data yang sudah terkumpul
perlu dianalisis secara cermat dan komprehensip (menyeluruh), untuk
kemudian ditafsirkan dan diimplementasikan dalam beberapa alternatif
rencana program bimbingan dan konseling di sekolah. Alternatif program
tersebut harus dievaluasi dan dipilih mana yang memiliki peluang paling
besar untuk mencapai tujuan, tetapi paling hemat dalam menggunakan
tenaga, waktu, dan biayanya.
4) Menganalisis program, pelaksanaan, hasil, dukungan serta faktor-faktor penghambat program sebelumny
Sebelum
alternatif program bimbingan dan konseling yang dipilih dilaksanakan,
konselor perlu menjabarkan secara rinci program itu sampai dengan
tahap-tahap pelaksanaannya. Dalam setiap tahap pelaksanaan, paling tidak
harus jelas mengenai: (1) sasaran yang ingin dicapai, (2) kegitan yang
akan dilakukan, (3) siapa pelaksana dan penanggung jawabnya, (4) kapan
waktu pelaksanaanya, dan (5) sarana atau pra sarana dan dana yang
diperlukan.
5) Sistem manajemen program bimbingan dan konseling
Apakah suatu sekolah dapat melaksanakan layanan bimbingan dan konseling
tanpa membuat suatu program kegiatan bimbingan dan konseling? Misalnya,
pada suatu sekolah hanya memiliki seorang konselor yang memiliki
kompetensi dan kualifikasi professional sebagai konselor, sedangkan guru
mata siswaan, wali kelas dan staf sekolah lainnya dan tidak ikut
melibatkan diri dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Cara
kerja dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling seperti ini tidak
menunjukan adanya suatu kelompok bimbingan dan konseling (team work)
yang sinergis. Cara kerja dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling
semacam ini bisa saja dilaksanakan tetapi tidak memiliki dampak yang
positif dalam membantu perkembangan opkelompokal siswa. Tanpa
perencanaan program, layanan bimbingan dan konseling tampaknya praktis
dan simpel, tetapi mempunyai banyak kelemahan diantaranya : 1) program
yang tidak didasari pemikiran secara matang mengakibatkan program
kurang dapat dipertanggung jawabkan, 2) tidak ada kontinyuitas dalam
pelayanan, 3) sukar untuk mengevaluasi kerja yang telah dilalukan.
Apakah pelayanan itu betul-betul relevan dengan kebutuhan-kebutuhan yang
ada, akan lebih sukar dilakukan pengecekan. Dengan membuat rencana
program bimbingan dan konseling, layanan kepada subjek sasaran akan
lebih baik, kebutuhan dapat dilayani, di samping tenaga dan fasilitas
lain dapat dimanfaatkan secara efisien.
Program bimbingan dan konseling memuat unsur-unsur yang terdapat dalam
berbagai ketentuan tentang pelaksanaan bimbingan dan konseling di
sekolah seperti: (1) visi dan misi, (2) tujuan, (3) kegiatan, (4)
strategi dan atau teknik, (5) pelaksana dan penanggung jawab, (6) waktu,
(7) tempat, (8) biaya dan fasilitas lainnya, (9) rencana evaluasi.
Murro & Kottman (1995) mengemukakan bahwa struktur program bimbingan
komprehensif diklasifikasikan ke dalamempat jenis layanan yaitu (a)
layanan dasar bimbingan, (b) layanan responsif, (c) layanan perencanaan
individual, (d) dukungan sistem.
A. Layanan Dasar Bimbingan
Layanan
dasar bimbingan merupakan layanan bantuan bagi siswa melalui
kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara
sistematis, dalam rangka membantu siswa mengembangkan potensinya secara
opkelompokal.
Layanan
ini bertujuan untuk membantu semua siswa agar memperoleh perkembangan
yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh keterampilan
dasar hidupnya. Tujuan layanan ini dapat juga dirumuskan sebagai upaya
membantu siswa agar:
1. Memiliki kesadaran, pemagahaman diri tentang diri dan lingkungan
2. Mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi tanggung jawab atau seperangkat tingkah laku yang tepat
3. Mampu menangani atau mamanuhi kebutuhan dan masalahnya, serta mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.
B. Layanan responsif
Komponen
layanan responsif dalam program bimbingan dan konseling sekolah,
terdiri atas kegiatan-kegiatan untuk menemukan kebutuhan dan persoalan
yang tengah dihadapi siswa. Penyelesaian
kebutuhan atau persoalan ini memerlukan konseling, konsultasi,
pengalihan, fasilitasi maupun informasi dari teman sebaya. Komponen ini
disediakan bagi seluruh siswa dan seringkali siswa diberi inisiasi
melalui self-referral. Bagaimanapun
guru, orangtua/wali dan orang lain bisa juga membantu siswa. Walaupun
konselor sekolah memiliki keterampilan dan pelatihan khusus dalam
merespon kebutuhan dan persoalan semacam ini, kerjasama dan dukungan
dari seluruh pihak sekolah dan seluruh staf tetap diperlukan bagi
suksesnya implementasi program layanan responsif.
Layanan responsif disampaikan melalui strategi-strategi seperti,
konsultasi:
konselor berkonsultasi dengan orangtua/wali, guru, tenaga pendidik lain
atau dengan agen masyarakat mengenai strategi untuk membantu siswa dan
keluarga. konselor tampil sebagai advokat bagi siswa.
Konseling individual dan kelompok kecil: konseling diberikan dalam
suatu kelompok kecil atau atas dasar individual bagi siswa dalam
mengungkapkan kesulitasn-kesulitan yang berkenaan dengan hubungan,
masalah pribadi atau tugas-tugas perkembangan pribadi mereka. konseling
individual dan kelompok kecil membantu siswa dalam mengidentifikasi
masalah, sebab-sebab, alternatif, dan konsekuensi yang mungkin terjadi,
sehingga mereka dapat mengambil tindakan yang tepat. konsleing semacam
ini pada dasarnya berjangka pendek. konselor sekolah tidak memberikan
terapi. jika diperlukan, pengalihan dibuat terhadap sumber-sumber
masyarakat yang tepat.
Konseling krisis : konseling krisis memberikan pencegahan, intervensi
dan tindak lanjut. Konseling dan dukungan diberikan pada siswa dan
keluarga dalam menghadapi situasi darurat. Konseling semacam ini
biasanya jangka pendek dan bersifat sementara, saat dibutuhkan,
pengalihan dapat dibuat terhadap sumber-sumber masyarakat yang tepat.
Konselor sekolah dapat memegang peran sebagai pemimpin dalam proses
intervensi krisis suatu kelompok dalam lembaganya.
Alih tangan (referal) : konselor menggunakan sumber acuan untuk
menangani kasus krisis seperti keinginan bunuh diri, kekerasan,
pelecehan, depresi dan kesulitan keluarga. sumber acuan ini bisa
meliputi agen-agen kesehatan mental, tenaga kerja dan program pelatihan,
layanan bagi remaja serta layanan sosial dan kemasyarakatan lainnya.
Fasilitasi
oleh teman sebaya : banyak konselor melatih siswa sebagai perantara
teman sebaya, manajer konflik, tutor maupun mentor. Teknik-teknik
pemecahan masalah dan resolusi konflik digunakan untuk membantu siswa
belajar bagaimana mereka bergaul dengan orang lain. Melalui perantara
teman sebaya, siswa dilatih dalam suatu sistem agar berguna bagi teman
terdekatnya yang sedang memiliki masalah dalam bergaul dengan orang
lain.
C. Perencanaan individual
Dalam
perencanaan individual, konselor sekolah mengkoordinasikan kegiatan
secara sistemik dan berkelanjutan serta dirancang untuk membantu siswa
secara individual dalam menetapkan tujuan pribadi dan mengembangkan
rencana mereka di masa depan. Konselor sekolah mengkoordinasikan
kegiatan bantuan bagi seluruh rencana siswa, mengawasi dan menangani
proses belajar siswa termasuk menemukan kompetensi dalam area akademis,
karir dan perkembangan pribadi-sosialnya. Dalam komponen ini siswa
mengevaluasi tujuan edukasional, okupasional dan tujuan personal mereka.
Konselor sekolah membantu siswa membuat pilihan dari sekolah ke
sekolah, sekolah ke pekerjaan maupun sekolah ke pendidikan tinggi atau
karir setelah mereka lulus dari suatu sekolah.
Aktivitas
ini umumnya disampaikan atas suatu dasar individual atau dengan bekerja
sama dengan individu lain dalam kelompok kecil maupun kelompok
penasehat. Orangtua atau wali bersama personil sekolah lainnya
seringkali terlibat dalam aktivitas semacam ini. Penyampaian sistematis
tentang perencanaan individual bagi tiap siswa meliputi strategi yang
terdokumentasi bagi keberhasilan siswa.
Perencanaan individual bagi siswa diimplementasikan melalui beberapa strategi sebagai berikut:
1) Penilaian
indiuvidual/kelompok kecil: konselor sekolah mengadakan analisis dan
evaluasi terhadap kemampuan, minat, keterampilan, dan prestasi siswa.
uji informasi dan data lainnya sering digunakan sebagai dasar bagi
pemberian bantuan pada siswa dalam mengambangkan rencana jangka pendek
dan jangka panjang mereka.
2) Pemberian
saran pada individual/kelompok kecil: konselor sekolah memberi saran
pada siswa dengan menggunakan informasi pribadi/ sosial, karir dan pasar
tenaga kerja dalam perencanaan tujuan pribadi, edukasional dan
okupasional siswa. keterlibatan siswa, orangtua/wali dan pihak sekolah
dalam merencanakan program siswa yang sesuai dengan kebutuhan mereka
merupakan hal yang penting.
D. Dukungan sistem
Dukungan
sistem terdiri atas aktivitas manajemen yang membentuk, memelihara dan
meningkatkan efektivitas serta efisiensi bimbingan dan konseling sekolah
secara keseluruhan. Konselor sekolah menggunakan keterampilan
kepemimpinan serta advokasi mereka untuk mempromosikan perubahan yang
sistemik dengan cara berkontribusi dalam aspek-aspek seperti dibawah
ini,
a)
pengembangan profesional: konselor sekolah terlibat secara rutin dalam
memperbaharui dan membagi pengetahuan serta keterampilan profesional
mereka melalui :
1) Pelatihan
in-servis : konselor sekolah menghadiri pelatihan in-servis sekolah
untuk menjamin keterampilan mereka akan diperbaharui di bidang
pengembangan kurikulum, teknologi dan analisis data. Mereka juga
diberikan pengajaran in-servis yang ada dalam kurikulum bimbingan dan
konseling sekolah serta bidang-bidang lainnya yang berkaitan dengan
sekolah dan masyarakat.
2) Keanggotaan
asosiasi profesional : seiring dengan konsep dan orientasi bimbingan
dan konseling sekolah yang terus berubah dan berkembang, konselor
sekolah dapat meningkatkan kompetensi mereka dengan cara mengikuti
konferensi dan pertemuan-pertemuan asosiasi profesional.
3) Pendidikan
pasca kelulusan: sejalan dengan penyelesaian rangkaian pekerjaan di
sekolah, konselor sekolah hendaknya menambah wawasan dan kemampuan
dengan mengikuti pendidikan lanjutan yang berkontribusi terhadap
kualitas profesinya.
b) Konsultasi,
kolaborasi dan pembentukan kelompok: melalui konsultasi, pembentukan
partner, kolaborasi dan pembentukan kelompok, konselor sekolah
memberikan kontribusi penting bagi sistem sekolah.
1) Konsultasi:
konselor hendaknya berkonsultasi dengan guru, staf sekolah dan
orangtua/wali siswa secara rutin dengan tujuan untuk memperoleh
informasi, memberi dukungan pada komunitas sekolah dan untuk menerima
umpan balik atas kebutuhan siswa.
2) Pembentukan
partner dengan staf, orangtua/wali serta masyarakat terkait: hal ini
melibatkan orientasi staf, orangtua/wali, dunia bisnis dan industri,
organisasi sosial serta anggota masyarakat dalam program konseling
sekolah yang komprehensif melalui aktivitas seperti partnership, media
lokal, surat kabar, dan presentasi.
3) Pengembangan
jaringan: aktivitas yang termasuk dalam area ini dirancang untuk
membantu konselor agar mendapat pengetahuan tentang sumber daya dalam
masyarakat, agen referral, situs-situs, kesempatan kerja dan informasi
tentang bursa kerja lokal. hal ini bisa juga mencakup kunjungan konselor
ke lembaga bisnis-bisnis lokal, industri dan agen atas dasar kebiasaan.
4 Badan
penasehat : konselor sekolah aktif dalam pelayanan di badan-badan
penasehat, komite masyarakat dan sebagainya dengan cara mendukung
program-program lain di dalam sekolah dan masyarakat, maka konselor
sekolah akan mendapatkan dukungan bagi program bimbingan dan konseling
sekolah.
c) Manajeman
dan operasi program: aktivitas ini mencakup perencanaan dan tugas-tugas
manajemen yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas yang dilaksanakan
dalam program bimbingan dan konseling sekolah mencakup juga tanggung
jawab yang harus dipikul sebagai anggota staf sekolah.
1) Aktivitas manajeman: meliputi pembiayaan, fasilitasi, kebijakan dan prosedur, serta penelitian dan pengembangan sumber daya.
2) Analisis
data: konselor menganalisis kaitan antara prestasi siswa dan program
bimbingan dan konseling. Kegiatan ini berguna untuk mengevaluasi program
bimbingan dan konseling, melakukan penelitian terhadap aktivitas yang
dihasilkan serta menemukan jurang pemisah antara kelompok-kelompok siswa
yang perlu diluruskan. Analisis data membantu pengembangan program
bimbingan dan konseling sekolah beserta sumber-sumber di dalamnya.
3) Pembagian
tanggung jawab secara adil: sebagai anggota dalam sistem pendidikan,
konselor sekolah harus menampilkan pembagian tanggung jawab secara adil.
1. Program Evaluasi
Evaluasi
program bimbingan dan konseling bukan merupakan kegiatan akhir.
Artinya, kegiatan evaluasi merupakan suatu kegiatan yang
berkesinambungan atau lebih tepat bila dikatakan siklus sebab tidak
berhenti sampai terkumpulnya data atau informasi, tetapi data atau
informasi itu digunakan sebagai dasar kebijakan atau keputusan dalam
pengembangan program bimbingan dan konseling selanjutnya. Karena itu
kegiatan evaluasi program bimbingan dan konseling hendaknya
memperhatikan prosedur dan langkah-langkah serta metoda atau strategi
yang harus digunakan.
Prosedur evaluasi, yaitu meliputi serangkaian kegiatan yang berurut sebagai berikut :
a. Identifikasi tujuan yang akan dicapai
Melakukan
identifikasi terhadap tujuan yang ingin dicapai sangat penting karena
memberikan arah pekerjaan yang akan dilaksanakan. Artinya selama
melakukan evaluasi tetap mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan.
Langkah awal kegiatan evaluasi adalah menetapkan parameter atau
batasan-batasan yang akan dievaluasi, dapat dipusatkan pada program
bimbingan dan konseling secara keseluruhan atau pada tujuan khusus
secara terpisah-pisah. Tujuan itu hendaknya jelas, singkat, operasional
dan dapat diukur.
b. Pengembangan rencana evaluasi
Pengembangan rencana evaluasi merupakan langkah lanjutan setelah menetapkan tujuan yang ingin dicapai. Komponen-komponen rencana evaluasi program bimbingan dan konseling yang perlu dikembangkan antara lain:
1) data atau informasi yang dibutuhkan;
2) alat pengumpulan data yang digunakan;
3) sumber data atau informasi yang dapat dihubungi;
4) personel pelaksanaan;
5) waktu pelaksanaan;
6) kriteria penilaian; dan
7) bagaimana pelaporan dan pada siapa laporan itu disampaikan.
c. Pelaksanaan Evaluasi
Setelah
rencana itu disusun dan disetujui, pelaksanaan evaluasi program
bimbingan dan konseling dan konseling dan konseling dan konseling dan
konseling bergantung pada cara/metoda yang digunakan. Prinsip
pelaksanaan evaluasi perlu memperhatikan faktor-faktor yang telah
direncanakan sehingga terjadi berinteraksi antara faktor yang satu
dengan lainnya dan dapat membantu pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.
d. Pelaporan dan Pemanfaatan Hasil Evaluasi
Pelaporan
dan pemanfaatan hasil evaluasi dianggap sangat penting sebab langkah
ini merupakan bentuk konkrit sikap akuntabilitas atas program dan hasil
kegiatan yang telah dilakukan seorang konselor beserta staf yang
lainnya. Hasil kegiatan evaluasi yang baik adalah yang dapat memberikan
sumbangan pertimbangan dalam membuat kebijakan dan keputusan
selanjutnya. Program bimbingan dan konseling itu diganti, diubah atau dikembangkan semata-mata berdasarkan hasil evaluasi.
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Langganan:
Postingan (Atom)