Kamis, 17 Mei 2012

Konsep-Konsep Utama Dalam Pendekatan Konseling

KONSEP UTAMA PENDEKATAN PSIKOANALITIK
Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan resolusi dan integrasi fase-fase perkembangan psikoseksual yang berhasil. Perkembangan kepribadian yang gagal merupakan akibat dari resolusi sejumlah fase perkembangan psikoseksual yang tidak memadai. id, ego,dan superego membentuk dasar bagi struktur kepribadian. Kecemasan adalah akibat perepresian konflik-konflik dasar. mekanisme-mekanisme pertahana ego dikembangkan untuk mengendalikan kecemasan. Proses-proses tak sadar berkaitan erat dengan tingkah laku yang muncul sekarang.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN EKSISTENSIAL-HUMANISTIK
Pendekatan eksistensial-humanistik menekankan kondisi-kondisi inti manusia. Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan keunikan masing-masing individu. Kesadaran diri berkembang sejak bayi. Determinasi diri dan kecenderungan ke arah pertumbuhan adalah gagasan-gagasan sentral. Psikopatologi adalah akibat dari kegagalan dalam mengaktualisasikan potensi. Pembedaan-pembedaan dibuat antara “rasa bersalah eksistensial” dan “rasa bersalah neurotik” serta antara “kecemasan eksistensial” dan kecemasan neurotik”. Berfokus pada saat sekarang dan pada apa menjadi seseorang itu; yang berarti memiliki orientasi ke masa depan.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN CLIENT-CENTERED
Konseli memiliki kemampuan untuk menjadi sadar atas masalah-masalahnya serta cara-cara mengatasinya. Kepercayaan diletakkan pada kesanggupan konseli untuk mengarahkan dirinya sendiri. kesehatan mental adalah keselarasan antara diri ideal dan diri real. Maladjusmnet adalah akibat dari kesenjangan anatara diri ideal dan diri real. Berfokus pada saat sekarang serta pada mengalami dan mengekspresikan perasaan-perasaan.

KONSEP UTAMA PENDEKATAN GESTALT
Berfokus pada apa dan bagaimana mengalami disini-dan-sekarang (here and now) untuk membantu konseli agar menerima polaritas-polaritas dirinya. Konsep-konsep utama mencakup tanggung jawab pribadi, urusan yang tak selesai, penghindaran, mengalami dan menyadari saat sekarang. Ini adalah terapi ekperiensial yang menekankan perasaan-perasaan dan pengaruh-pengaruh urusan yang tak selesai terhadap perkembangan kepribadian sekarang.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN ANALISIS TRANSAKSIONAL
Berfokus pada permainan-permainan yang dimainkan untuk menghindari keakraban dalam transaksi-transaksi. Kepribadian terdiri atas ego Orang Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anak. Konseli diajari untuk menyadari ego yang mana yang berperan dalam transaksi-transaksi yang dijalankan. Permainan, penipuan, putusan-putusan dini, skenario kehidupan, dan internalisasi perintah-perintah adalah konsep-konsep utama.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN BEHAVIORAL
Berfokus pada tingkah laku yang nampak, ketepatan dalam menyusun tujuan-tujuan treatment, pengembangan rencana-rencana treatment yang spesifik, dan evaluasi objektif atas hasil-hasil terapi. Terapi berdasarkan prinsip-prinsip teori belajar. Tingkah laku yang normal dipelajari melalui perkuatan dan peniruan. Tingkah laku yang abnormal adalah akibat dari belajar yang keliru. Ia menekankan tingkah laku sekarang dan hanya memberikan sedikit perhatian kepada sejarah masa lampau dan sumber-sumber gangguan.
KONSEP UTAMA PENDEKTAN RASIONAL-EMOTIF
Neurosis adalah pemikiran dan tingkah laku irrasional. Gangguan-gangguan emosional berakar pada masa kanak-kanak, tetapi dikekalkan pada reindoktrinasi sekarang. Sistem keyakinan adalah penyebab masalah-masalah emosional. Oleh karenanya, konseli ditentang untuk menguji kesahihan keyakinan-keyakinan tertentu.
KONSEP UTAMA PENDEKATAN REALITAS
Pendekatan ini menolak model medis dan konsep tentang penyakit mental. Berfokus pada apa yang bisa dilakukan sekarang, dan menolak masa lampau sebagai variabel utama. Pertimbangan nilai dan tanggung jawab moral ditekankan. Kesehatan mental sama dengan penerimaan atas tanggung jawab.
Sumber: Gerald Corey. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama
(GALIH JALU DWI.N 101014230)

Anak Retradasi Mental

PENGERTIAN ANAK RETARDASI MENTAL
Berdasarkan definisi dari Asosiasi Retardasi Mental di Amerika (America Associatian On Mental Retardasi-AAMR), anak dengan keterbelakangan mental mempunyai 2 ciri utama sebelum usia 18 th :
  1. Memiliki taraf kecerdasan yang secara signifikan berada di bawah rata-rata kecerdasan umum anak sebayanya, keadaan ini diindikasikan dengan nilai IQ yang berada di bawah 70. Kemudian kemampuan belajarnya lebih lambat dan memiliki prestasi berada jauh di bawah rata-rata kelasnya dan merata dihampir seluruh mata pelajaran.
  2. Tidak dikuasainnya perilaku adaptif, yaitu perilaku yang berkaitan denngan ketrampilan kegiatan harian
Anak dengan keterbelakangan mental menunjukan keterbatasan dalam kecerdasan praktis yaitu untuk mengarahkan diri untuk melakukan aktifitas harian dan kecerdasan social yaitu melakukan perilaku yang sesuai dengan situasi social. Biasanya anak dengan keterbelakangan mental mengalami kesulitan dalam ranah perilaku adaptasi seperti komunikasi, bantu diri dan aspek lainnya.
PENYEBAB RETARDASI MENTAL
Penyebab retardasi mental secara umum dapat terjadi karena factor genetic, biologis non keturunan, dan lingkungan
1. Faktor genetic
Lebih dari 150 kerusakan gen yang diketahui dapat menyebabkan keterbelakangan mental, walaupun kebanyakan jarang terjadi. Dalam hal ini gen gagal memberikan perintah memproduksi enzim atau pembentukan enzim yang salah. Keadaan ini berlangsung sejak individu berada pada masa konsepsi. Terjadi kelainan kromosom karena penambahan atau pengurangan  suatu kromosom, akibatnya terjadi kelainan fisik maupun fungsi-fungsi kecerdasannya.
2. Biologis non-keturunan
a. Radiasi sinar X, dapat menyebabkan cacat pada Ibu selama kehamilan, walaupun  bahaya tidak diketahui dengan jelas radiasi dapat mengakibatkan bermacam-macam gangguan pada bayi yang belum lahir termasuk kematian, kelainan bentuk, kerusakan otak, kemudahan terkena kanker tertentu, umur pendek dan mutasi gen yang akibatnya baru terasa pada beberapa generasi berikutnya.
b. Keadaan gizi Ibu yang buruk ketika kehamilan, hal ini cukup beralasan kalau mengingat bahwa janin yang sedang tumbuh memperoleh makanan dari aliran darah ibunya, melalui membrane yang semi permiabel dari plasenta dan tali pusar. Kekurangan gizi bagi Ibu hamil mengakibatkan pembentukan sel-sel otak yang terjadi selama kehamilan mengalami gangguan. Berdasarkan penelitian anak-anak yang cacat lahir dan keterbelakangan mental diakibatkan oleh kekurangan gizi pada saat di dalam kandungan.
c. Obat-obatan, alasan penting kekhawatiran penggunaan obat-obatan ialah terjadi kerusakan anatomi pada anggota tubuh sekelompok bayi dan dicurigai mengakibatkan cacat lahir yang ibunya meminum obat thalidomid selama hamil. Termasuk di dalamnya beberapa antibiotic, hormon, steroid, antikoagulan, narkotika dan obat penenang serta beberapa obat halusinogenik seperti LSD dan PCP.
d. Faktor Rhesus, menunjukkan adanya factor kimia yang terdapat dalam darah sekitar 85% manusia, walaupun terdapat variasi ras  dan etnik. Selama kehamilan, anti bodi dalam darah ibu dapat menyerang darah Rh-positif bayi yang belum lahir. Penghancuran yang terjadi dapat dibatasi sehingga timbul sebagai anemia ringan atau ekstensif sehingga mengakibatkan celebral palsy, ketulian, keterbelakangan mental bahkan kematian.
3. Lingkungan
Selain keadaan genetic dan biologis, factor lingkungan juga dapat berperan sebagai penyebeb retardasi mental terutama berkaitan dengan kesempatan stimulasi yang diberikan pada anak. Misalnya penolakan orangtua, anak yang tidak diterima oleh orang tuanya sangat mungkin telah mendapat stimulasi yang cukup untuk optimalisasi perkembangannya.
PENANGANAN ANAK DENGAN RETARDASI MENTAL
Untuk dapat mengoptimalkan kemampuan anak dengan retardasi mental, penanganannya harus secara komprehensif antara orangtua, psikolog(konselor), docter, guru dan terapis. Untuk bidang pendidikan, penanganan anak retardasi mental dapat ditekankan pada pengembangan ketrampilan bersosialisasi dan aktivitas bantu diri sederhana.
Sebagai seorang guru dalam memberikan materi pelajaran, ada beberapa cara yang diterapkan seperti :
1.Mengenalkan materi pelajaran yang baru dengan perlahan-lahan. Pastikan bahwa anak memahami apa yang disampaikan. Beri kesempatan untuk berlatih secara langsung. Misalkan untuk mengajarkan bahwa ketika masuk sekolah, anak harus berjabat tangan dengan guru dan mengucapkan salam, begitu seterusnya
2.Dalam memberikan instruksi atau keterangan hendaknya guru membantu anak memusatkan perhatiannya terlebih dahulu pada apa yang akan disampaikan oleh guru. Misalnya, dengan menggunakan kata-kata “coba perhatikan Ibu”,”lihat”,”dengar”.
3.Keterangan yang disampaikan hendaknya diterangkan dalam bentuk yang nyata dan secara bertahap. Misalnya, untuk mengajarkan bahwa selesai makan anak harus mencuci tangan, guru harus melatihkan setiap langkahnya
(GALIH JALU DWI.N 101014230)

Studi Kasus Konseling Keluarga Dengan Pendekatan Konseling Directive

Titik tolak perbedaan dari bermacam-macam tehnik dalam konseling sebenarnya terletak pada cara pendekatannya, pada kesempatan ini penulis berperan dengan menggunakan konseling Directive yang diperkenalkan oleh E.G. Williamson yang sering disebut juga konseling Behavioristik (perubahan tingkah laku). Pendekatan dalam konseling ini didasarkan pada konsep bahwa masalah orang itu berkembang dan merupakan hasil kontak dengan lingkungan luarnya. Tujuan utama dari konseling Directive adalah membantu klien mengganti tingkah laku emosional dan impulsif dengan tingkah laku yang rasional.
Study kasus ini, penulis lakukan dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah Konseling Keluarga jenjang S1 BK. Dengan latar belakang masalah yang terjadi pada seorang siswa, bernama Friska (F) umur 16 tahun, kelas 2 SMU di sekolah X Kota Semarang. Ia mempunyai orang tua yang semuanya berkarir dalam bidang Roti dan Catering, dan ia merupakan anak tunggal dalam keluarga, karena itu ia sangat dimanjakan oleh orang tuanya.

Management By Objective(MBO)

Prinsip Manajemen By Objective
1. Pengertian Manajeman
Manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengatur (Malayu S.P. Hasibuan, 2003: 1). Manajemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Yang diatur dalam manajemen antara lain adalah: manusia, uang, metode, material, mesin, pasar, dan sebagainya. Komponen-komponen tersebut diatur agar berdaya guna, berhasil guna, terintegrasi, dan terkoordinasi dalam mencapai tujuan yang optimal. Pengaturan komponen-komponen tersebut melalui suatu proses yang terdiri dari: 1) perencanaan, 2) pengorganisasian, 3) pengarahan, dan 4) pengendalian. Malayu S.P. Hasibuan mendefinisikan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Pengertian Prinsip Manajeman By Objective
Sebutan “manajemen sesuai objektif” pertama dipopulerkan oleh Peter Drucker dalam bukunya tahun 1954 yang berjudul ‘The Practice of Management’. MBO sulit didefinisikan, namun secara umum esensi sistem MBO, terletak pada penetapan tujuan tujuan-tujuan umum oleh para manajer dan bawahan yang bekerja bersama, penentuan bidang utama setiap individu yang hasilnya dirumuskan secara jelas dalam bentuk hasil-hasil (sasaran) yang dapat diukur dan diharapkan, dan ukuran penggunaan ukuran-ukuran tersebut sebagai satuan pedoman pengoperasian satuan-satuan kerja serta penilaian masing penilaian sumbangan masing-masing anggota.
Gagasan dasar MBO adalah bahwa MBO merupakan proses partisipatif, secara aktif melibatkan manajer dan para anggota pada setiap tingkatan organisasi. Management by objective (MBO) atau manajemen by objective atau manajemen sesuai objektif adalah suatu proses persetujuan terhadap objektif di dalam satu organisasi sehingga manajemen dan karyawan menyetujui objektif ini dan memahami apa posisi mereka di dalam organisasi tersebut
Management by objective (MBO) atau juga disebut (diterjemahkan) Manajemen Berdasarkan Sasaran, yaitu suatu cara untuk melibatkan para karyawan di dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pekerjaan mereka. (Sondang P. Siahaan: 2004: 362).
Menurut Nanang Fattah (2009: 33) menjelaskan bahwa Management by objective (MBO) merupakan teknik manajeman yang membantu memperjelas dan menjabarkan tahapan tujuan organisasi. Lebih lanjut Nanang Fattah menjelaskan bahwa dengan Management by objective (MBO) dilakukan proses penentuan tujuan bersama antara atasan dan bawahan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Management by objective (MBO) adalah suatu cara di dalam mencapai sasaran hasil maupun dalam merencanakan program melibatkan semua pihak (stakeholders) pada lembaga yang bersangkutan
3. Kekuatan dan Kelemaham Manajeman By Objective
Kekuatan MBO antara lain adalah: 1) MBO melakukan integrasi fungsi perencanaan dan pengawasan ke dalam suatu sistem yang rasional dalam manajemen, 2) MBO mendorong organisasi untuk menentukan tujuan dari tingkatan atas hingga tingkatan bawah dari manajemen, 3) MBO memfokuskan pada hasil akhir dari pada niat yang baik maupun faktor personal. 4) MBO mendorong adanya manajemen diri dan komitmen dari setiap orang melalui partisipasi pada setiap tingkatan manajemen dalam penentuan tujuan.
Hasil survei terhadap manajer, Tosy & Carroll menyatakan kekuatan Manajeman By Objective adalah 1). Memungkinkan para individu mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. 2). Membantu dalam perencanaan dengan membuat para manajer menetapkan tujuan dan sasaran. 3). Memperbaiki komunikasi antara manajer dan bawahan. 4). Membuat para individu lebih memusatkan perhatiannya pada tujuan organisasi. 5). Membuat proses evaluasi lebih dapat disamakan melalui pemusatan pada pencapaian tujuan tertentu. Ini memungkinkan para bawahan mengetahui kualitas pekerjaan mereka dalam hubungannya dengan tujuan organisasi.
Menurut Nanang Fattah (2009: 34) ada empat kekuatan dari Manajeman By Objective yaitu:
a. Pengelolaan cenderung lebih baik karena keharusan membuat program.
b. Peranan dan fungsi struktur organisasi harus jelas.
c. Individu mengikat diri pada tugas-tugasnya (commited).
d. Pengawasan lebih efektif berkembang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kekuatan dari Manajeman By Objective adalah:
a. MBO melakukan integrasi fungsi perencanaan dan pengawasan ke dalam suatu sistem yang rasional dalam manajemen.
b. MBO mendorong organisasi untuk menentukan tujuan dari tingkatan atas hingga tingkatan bawah dari manajemen.
c. MBO memfokuskan pada hasil akhir.
d. MBO mendorong adanya manajemen diri dan komitmen dari setiap orang melalui partisipasi pada setiap tingkatan manajemen dalam penentuan tujuan.
e. Memperbaiki komunikasi antara manajer dan bawahan.
f. Membuat para individu lebih memusatkan perhatiannya pada tugas masing-masing dan tujuan organisasi.
g. Pengawasan lebih efektif berkembang.
Adapun kelamahan dari Manajeman By Objective adalah pertama, negosiasi dan pembuatan keputusan dalam pendekatan MBO membutuhkan banyak waktu, sehingga kurang cocok bila diterapkan pada lingkungan bisnis yang sangat dinamis. Kedua, adanya kecenderungan karyawan untuk bekerja memenuhi sasarannya tanpa mempedulikan rekan sekerjanya, sehingga kerjasama tim berkurang. Ada juga yang bilang MBO hanyalah sekedar formalitas belaka, pada akhirnya yang menentukan sasaran hanyalah manajemen puncak sendiri.
Sedangkan menurut hasil survei terhadap manajer, Tosy & Carroll menyatakan kelemahan Manajeman By Objective ada dua kategori kelemahan-kelemahan khas untuk organisasi yang mempunyai program MBO formal: 1). Kelemahan-kelemahan yang melekat (inherent) pada proses MBO. Ini mencakup konsumsi waktu dan usaha yang cukup besar dalam proses belajar untuk menggunakan teknik-teknik MBO serta meningkatkan banyaknya kertas kerja. 2). Kelemahan-kelemahan dalam pengembangan dan implementasi MBO oleh berbagai fungsi.
Menurut Nanang Fattah (2009: 35) ada empat kelemahan Manajeman By Objective yaitu:
a. Tidak mudah menanamkan pemahaman tentang konsep-konsep dan pemberian motivasi kepada bawahan untuk mempelajari penggunaan teknik Manajeman By Objective secara tepat.
b. Tidak mudah menentukan tujuan dengan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berpartisipasi.
c. Tidak mudah menilai prestasi kerja, karena tidak setiap prestasi dapat diukur secara kuantitas.
d. Perubahan yang diinginkan Manajeman By Objective dalam perilaku manajer kemungkinan akan menimbulkan maslah dalam proses MBO titik berat akan bergeser dari menilai menjadi membantu bawahan.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kelemahan Manajeman By Objective adalah:
  1. Tidak mudah menanamkan tentang konsep-konsep dan pemberian motivasi kepada bawahan untuk mempelajari penggunaan teknik MBO secara tepat
  2. Tidak mudah menentukan tujuan dengan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berpartisipasi
  3. Tidak mudah menilai prestasi kerja, karena tidak setiap prestasi dapat diukur secara dikuantitas
  4. Pembuatan keputusan membutuhkan waktu yang lama
  5. Kecenderungan karyawan bekerja memenuhi sasaran tanpa memperdulikan rekan kerja
  6. Kecenderungan karyawan bekerja memenuhi sasaran tanpa memperdulikan rekan kerja
                 (GALIH JALU DWI.N 101014230)

Terapi Anak Hiperaktif/ADHD

Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder atau ADHD adalah kondisi psikologis yang dimulai pada anak usia dini dan sering berlanjut menjadi dewasa. Secara umum, laki-laki memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi dari gangguan daripada wanita. Ada tiga set luas dari gejala yang berhubungan dengan ADHD: kurangnya perhatian dan distractibility, hiperaktif, dan impulsif. Hal ini tidak perlu memiliki gejala-gejala dari semua tiga wilayah untuk memenuhi kriteria ADHD dan banyak orang dewasa mengalami gejala kognitif terutama dari kurangnya perhatian dan distractibility. Gejala-gejala hiperaktif dan impulsif lebih sering terjadi pada laki-laki dan biasanya lebih parah pada awal masa kanak-kanak. Selain gejala-gejala utama, banyak anak dengan ADHD mengalami masalah sekunder, termasuk kesulitan akademis yang signifikan selama tahun-tahun awal mereka sekolah dan / atau kesulitan interpersonal dengan rekan-rekan.
ADHD diklasifikasikan sebagai “Developmental Disorder” yang berarti gejala harus hadir oleh anak usia dini dan mereka biasanya menetap menjadi remaja atau dewasa. Gejala yang terkait dengan ADHD bervariasi secara signifikan di seluruh umur dalam hal keparahan dan beberapa gejala dapat mengatasi seluruhnya oleh remaja akhir atau dewasa. Seorang anak dengan ADHD mungkin memiliki kesulitan duduk untuk jangka waktu selama kelas, misalnya, sedangkan dewasa muda mungkin merasa “gelisah” selama kelas dan memiliki masalah dengan konsentrasi dan perhatian-span selama kuliah. Orang dewasa mungkin menghadapi berbagai masalah, seperti masalah awal dan menyelesaikan tugas-tugas di tempat kerja.
(GALIH JALU DWI.N 101014230)

Konseling Terapi Bgi Penderita Obsesive-Compulsif Disorder(OCD)

A. Pengertian Obsesif-Kompulsif
Gangguan  Obsesif-Kompulsif  disingkat GOK atau Obbesive-Compulsif Dissorder (OCD), ditandai dengan adanya obsesi dan kompulsi. Obsesi adalah gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak diinginkan dan mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh atau menakutkan. Kompulsi adalah desakan atau paksaan untuk melakukan sesuatu yang akan meringankan rasa tidak nyaman akibat obsesi.
Dalam kriteria DSM-IV-TR mengartikan bahwa Obsesi adalah pikiran yang berulang dan menetap, impuls-impuls atau dorongan yang menyebabkan kecemasan, Kompulsif adalah perilaku dan tindakan mental repetitif yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan ketegangan.
Gangguan Obsesif-kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder, OCD) adalah kondisi dimana individu tidak mampu mengontrol dari pikiran-pikirannya yang menjadi obsesi yang sebenarnya tidak diharapkannya dan mengulang beberapa kali perbuatan tertentu untuk dapat mengontrol pikirannya tersebut untuk menurunkan tingkat kecemasannya. Gangguan obsesif-kompulsif merupakan gangguan kecemasan dimana dalam kehidupan individu didominasi oleh repetatif pikiran-pikiran (obsesi) yang ditindaklanjuti dengan perbuatan secara berulang-ulang (kompulsi) untuk menurunkan kecemasannya.
B. Penyebab Gangguan Obsesif Kompulsif
Penyebab Obsesif Kompulsif adalah:
1)      Genetik – (Keturunan). Mereka yang mempunyai anggota keluarga yang mempunyai sejarah penyakit ini kemungkinan beresiko mengalami OCD (Obsesif Compulsive Disorder).
2)      Organik – Masalah organik seperti terjadi masalah neurologi dibagian – bagian tertentu otak juga merupakan satu faktor bagi OCD. Kelainan saraf seperti yang disebabkan oleh meningitis dan ensefalitis juga adalah salah satu penyebab OCD.
3)      Kepribadian – Mereka yang mempunyai kepribadian obsesif lebih cenderung mendapat gangguan OCD. Ciri-ciri mereka yang memiliki kepribadian ini ialah seperti keterlaluan mementingkan aspek kebersihan, seseorang yang terlalu patuh pada peraturan, cerewet, sulit bekerja sama dan tidak mudah mengalah.
4)      Pengalaman masa lalu – Pengalaman masa lalu/lampau juga mudah mencorakkan cara seseorang menangani masalah di antaranya dengan menunjukkan gejala OCD.
5)      Gangguan obsesif-kompulsif erat kaitan dengan depresi atau riwayat kecemasan sebelumnya. Beberapa gejala penderita obsesif-kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala yang mirip dengan depresi.
6)      Konflik – Mereka yang mengalami gangguan ini biasanya menghadapi konflik jiwa yang berasal dari masalah hidup. Contohnya hubungan antara suami-istri, di tempat kerja, keyakinan diri.
(GALIH JALU DWI.N 101014230)

Kecerdasan Majemuk

Teori Kecerdasan Majemuk pertama kali dikembangkan oleh Dr. Howard Gardner dari Harvard Univewrsity pada tahun 1983. Selama ini gagasan kecerdasan berdasarkan pengujian IQ adalah sangat terbatas. Dr. Gardner berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai 8 kecerdasan yang berbeda untuk berbagai potensi manusia yang lebih luas pada anak-anak dan orang dewasa. 8 kecerdasan tersebut adalah:
1. Kecerdasan Linguistik (Kata-kata)
Merupakan kepekaan untuk berbicara dan menulis, kemampuan untuk mempelajari bahasa dan kemampuan menggunakan  bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk secara efektif menggunakan bahasa  untuk mengekspresikan diri secara retoris atau puitis, dan bahasa sebagai sarana untuk mengingat informasi. Penulis, penyair, pengacara, dan pembicara adalah mereka yang mempunyai kecerdasan linguistik yang tinggi.
2. Kecerdasan Logika (Matematika)
Kecerdasan Logika-Matematika terdiri dari kemampuan untuk menganalisa masalah secara logis, melakukan operasi  matematika, dan menyelidiki masalah ilmiah. Menurut Gardner ini merupakan kemampuan untuk mendeteksi pola, alasan  deduktif dan berpikir logis. Kecerdasan ini sering dikaitkan dengan pemikiran ilmiah dan matematika.
3. Kecerdasan Spasial (Gambar)
Kecerdasan Spasial melibatkan kemampuan untuk mengenali dan menggunakan pola ruang yang luas.
4. Kecerdasan Musikal
Kecerdasan musikal melibatkan kemampuan dalam kinerja, komposisi dan apresiasi terhadap pola musik. Ini mencakup kemampuan untuk mengenali dan menulis pola titi nada musik, nada, dan ritme. Menurut Gardner kecerdasan musik secara struktural berjalan hampir paralel dengan kecerdasan linguistik.
5. Kecerdasan Intrapersonal (Refleksi diri)
Kecerdasan Intrapersonal mencakup kemampuan untuk memahami diri sendiri, untuk menghargai perasaan, ketakutan, dan motivasi. Dalam pandangan Gardner melibatkan kemampuan memiliki model kerja yang efektif dari diri kita sendiri, dan untuk menggunakan informasi tersebut untuk mengatur hidup kita.
6. Kecerdasan Kinestetik (Olah tubuh)
Kecerdasan kinestetik jasmani memerlukan potensi menggunakan seluruh tubuh seseorang atau bagian tubuh untuk      memecahkan masalah. Ini adalah kemampuan untuk menggunakan kemampuan mental untuk mengkoordinasikan gerakan tubuh. gardner melihat aktivitas mental dan fisik sebagai sesuatu yang berkaitan.
7. Kecerdasan Interpersonal (hubungan antar manusia)
Kecerdasan Interpersonal berkaitan dengan kemampuan untuk memahami kemauan, motivasi, dan keinginan orang lain. Hal ini memungkinkan orang untuk bekerja secara efektif dengan orang lain. Pendidik, tenaga penjual, pemimpin agama dan politik, dan konselor semua membutuhkan kecerdasan interpersonal yang bekerja dengan baik.
8. Kecerdasan Naturalis (hubungan dengan alam)
Kecerdasan naturalis memungkinkan manusia untuk mengenali, mengelompokkan dan menggunakan fitur tertentu dari  lingkunghan. Kecerdasan ini menggabungkan deskripsi kemampuan inti dengan karakterisasi peran yang banyak  mempunyai nilai  budaya.
Sebagian besar lembaga pendidikan kita masih menitikberatkan pemberdayaan peserta didik pada kecerdasan linguistik dan kecerdasan logika, sedangkan kemampuan yang lain masih belum diberdayakan secara maksimal. Dr. Gardner juga mengatakan bahwa kita juga harus menempatkan perhatian yang sama pada individu yang menunjukkan prestasi dalam kecerdasan lain: para seniman, arsitek, musisi, naturalis, desainer, penari, terapis, pengusaha dan lain-lain yang memperkaya dunia dimana kita hidup. Sayangnya banyak dari anak-anak yang sangat berbakat tidaka cukup punya ruang gerak yang cukup luas di sekolah dimana mereka seharusnya dapat mengembangkan bakat yang mereka miliki secara optimal.
Salah satu fitur yang paling menonjol dari kecerdasan majumuk adalah bagaimana ia menyediakan 8 jalur potensi yang berbeda untuk belajar. Jika guru kesulitan menjangkau siswa dengan cara liguistik atau logis, teori kecerdasan majemuk menyarankan beberapa cara lain dimana pelajaran mungkin disajikan untuk memfasilitasi pembelajaran yang efektif. Penggabungan beberapa hal dalam kecerdasan majemuk merupakan ide pembelajaran yang sangat menarik dan efektif. Penyajian materi pelajaran bisa dilakukan dengan lebih kaya dan lebih kreatif. (dari berbagai sumber)
(GALIH JALU DWI.N 101014230)

Problema Kesulitan Belajar Pada Anak

Pada saat ini, berbagai persoalan yang sering terjadi pada anak-anak usia sekolah sangatlah        beraneka ragam. Salah satunya adalah Kesulitan Belajar atau “Learning Disabilities (LD), LD dapat didefinisikan sebagai hambatan/gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan di dalam sistem saraf pusat otak (gangguan neurobiologis) yang dapat menimbulkan gangguan perkembangan seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman, dan berhitung.
Dalam kurun waktu 2 tahun, saya menjadi pengajar di Sekolah Dasar Islam Bilingual An-Nissa Kota Semarang, banyak kiranya anak-anak didik disana mengalami problem tersebut. Padahal jikalau tidak ditangani dengan baik dan benar akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan, mulai dari gangguan emosional (psikiatrik) yang akan berdampak buruk bagi perkembangan kualitas hidupnya di kemudian hari. Kepekaan orangtua, guru di sekolah serta orang-orang di sekitarnya sangat membantu dalam mendeteksinya, sehingga anak dapat memperoleh penanganan dari tenaga profesional sedini dan seoptimal mungkin, sebelum menjadi terlambat.
Kesulitan Belajar kadang-kadang tidak terdeteksi dan tidak dapat terlihat secara langsung. Setiap individu yang memiliki kesulitan belajar sangatlah unik. Seperti misalnya, seorang anak “dyslexia”, yang sulit membaca, menulis dan mengeja, tetapi sangat pandai dalam matematika. Pada umumnya, individu dengan kesulitan belajar memiliki intelegensi rata-rata bahkan diatas rata-rata. Seseorang terlihat “normal” dan tampak sangat cerdas tetapi sebaliknya ia mengalami hambatan dan menunjukkan tingkat kemampuan yang tidak semestinya dicapai dibandingkan dengan yang seusia dengannya. Walau demikian, individu dengan kesulitan belajar bisa sukses di sekolah, di dunia kerja, dalam hubungan antar-individu, dan di dalam masyarakat bila disertai dengan dukungan dan perhatian yang tepat.
(GALIH JALU DWI.N 101014230)

10 Ciri Guru Profesional

Menjadi seorang guru atau pendidik yang baik dan proesional tentu tidak mudah, namun mau tidak mau kita harus berusaha untuk menjadi profesional  dan dihormati oleh anak didik, masyarakat sekitar dan rekan seprofesi.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang guru untuk mendapat pengakuan sebagai guru yang baik dan berhasil, diantaranya adalah:
1. Selalu punya energi untuk siswanya
Seorang guru yang baik menaruh perhatian pada siswa di setiap percakapan atau diskusi dengan mereka. Guru yang baik juga punya kemampuam mendengar dengan seksama.
2. Punya tujuan jelas untuk Pelajaran
Seorang guru yang baik menetapkan tujuan yang jelas untuk setiap pelajaran dan bekerja untuk memenuhi tujuan tertentu dalam setiap kelas.
3. Punya keterampilan mendisiplinkan yang efektif
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif sehingga bisa  mempromosikan perubahan perilaku positif di dalam kelas.

4. Punya keterampilan manajemen kelas yang baik
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik dan dapat memastikan perilaku siswa yang baik, saat siswa belajar dan bekerja sama secara efektif,  membiasakan menanamkan rasa hormat kepada seluruh komponen didalam kelas.
5. Bisa berkomunikasi dengan Baik Orang Tua
Seorang guru yang baik menjaga komunikasi terbuka dengan orang tua dan membuat mereka selalu update informasi tentang apa yang sedang terjadi di dalam kelas dalam hal kurikulum, disiplin, dan isu lainnya. Mereka membuat diri mereka selalu bersedia memenuhi  panggilan telepon, rapat, email dan sekarang, twitter.
6. Punya harapan yang tinggi pada siswa nya
Seorang guru yang baik memiliki harapan yang tinggi dari siswa dan mendorong semua siswa dikelasnya untuk selalu bekerja dan mengerahkan potensi terbaik mereka.
7. Pengetahuan tentang Kurikulum
Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang kurikulum sekolah dan standar-standar lainnya. Mereka dengan sekuat tenaga  memastikan pengajaran mereka memenuhi standar-standar itu.
8. Pengetahuan tentang subyek yang diajarkan
Hal ini mungkin sudah jelas, tetapi kadang-kadang diabaikan. Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan yang luar biasa dan antusiasme untuk subyek yang mereka ajarkan. Mereka siap untuk menjawab pertanyaan dan menyimpan bahan menarik bagi para siswa, bahkan bekerja sama dengan bidang studi lain demi pembelajaran yang kolaboratif.
9. Selalu memberikan yang terbaik  untuk Anak-anak dan proses Pengajaran
Seorang guru yang baik bergairah mengajar dan bekerja dengan anak-anak. Mereka gembira bisa mempengaruhi siswa dalam kehidupan  mereka dan memahami dampak atau pengaruh yang mereka miliki dalam kehidupan siswanya, sekarang dan nanti ketika siswanya sudah beranjak dewasa.
10. Punya hubungan yang berkualitas dengan Siswa
Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan saling hormat menghormati dengan siswa dan membangun hubungan yang dapat dipercaya.

Jadi Peer Educator,Why NOT????

Aduh gimana nih? Apa sebaiknya aku putusin aja tuh cowok?” Barangkali tipe pertanyaan semacam itu pernah kita dengar dari teman yang curhat kepada kita. Biasanya kita mencoba memberikan beberapa solusi atau alternatif jawaban. Sebenarnya, secara tidak langsung kita sedang mempraktikkan salah satu bentuk metode, yaitu pendidik sebaya.
Pendidik sebaya atau peer educator adalah suatu prinsip yang bekerja menurut dasar dari remaja, untuk remaja, dan oleh remaja. Umumnya, kita akan lebih terbuka dan bebas ngomongin permasalahannya dengan teman-teman yang seusia. Metode ini secara sederhana menggunakan teman sebaya/seusia sebagai konselor/pendidik untuk membantu teman lainnya agar dapat mengambil keputusan sendiri atas permasalahan yang dihadapinya.
Makanya, pendidik sebaya hanya berperan seperti sebuah cermin. Sebab, dia hanya merefleksikan perilaku atau memperlihatkan sisi lain yang mungkin terabaikan. Dengan demikian, remaja dapat menilai perilakunya sendiri kemudian mengambil suatu keputusan yang tepat bagi dirinya.
Namun, untuk menjadi seorang pendidik sebaya yang benar bukanlah hal gampang karena ini menyangkut kepribadian kita.
Bagaimana orang lain mau terbuka dan berkata jujur kalau ternyata kita dikenal suka ”ngember” atau dicap ”telmi” (telat berpikir). Jadi, syarat pertama menjadi pendidik sebaya adalah memiliki sifat bisa dipercaya, jujur, perhatian/empati, dan cerdas.
Jika kita merasa memiliki sifat itu, barangkali kita bisa sedikit berbangga karena kita lolos syarat pertama untuk dapat menjadi seorang pendidik sebaya. Namun, tunggu dulu. Itu semua belum cukup. Kita masih harus membekali diri dengan beberapa karakteristik berikut:
1. Penerimaan terhadap dorongan remaja.
Berfantasi merupakan hal wajar dilakukan setiap orang. Kadang-kadang dorongan atau fantasi dapat digolongkan dalam kelompok ”positif” (impian), misalnya dorongan untuk menjadi juara kelas, atau kelompok ”negatif” (fantasi). Oleh sebab itu, sebagai pendidik sebaya, langkah pertama kita harus bisa menerima apa pun macam impian atau fantasi teman kita.
Namun, yang perlu ditekankan oleh pendidik sebaya adalah impian atau fantasi yang bersifat merugikan tidak sampai diwujudkan ke perilaku. Sebab itu, kita perlu memberikan informasi yang berimbang tentang akibat positif dan negatif apabila fantasi atau impian itu dilakukan. Dengan demikian, dalam proses pengambilan keputusan, teman kita mampu mempertimbangkan secara matang.
2. Memiliki sikap percaya diri.
Seorang pendidik sebaya harus mampu mengembangkan sikap positif terhadap dirinya. Sikap positif tersebut akan membantu meningkatkan kepercayaan diri kita dalam berinteraksi atau memberikan informasi kepada teman kita. Sebaliknya, apabila kita tidak mampu mengembangkan kepercayaan diri, kita akan sulit untuk berinteraksi.
Selain harus mampu meningkatkan kepercayaan diri, pendidik sebaya juga harus mampu meningkatkan kepercayaan diri temannya agar dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya.
3. Toleransi pada perbedaan.
Tidak ada seorang pun yang memiliki sifat identik, bahkan anak kembar sekalipun. Hal ini berarti bahwa seorang pendidik sebaya harus memperlakukan setiap orang secara berbeda. Pemecahan untuk satu permasalahan yang sama antara teman yang satu dapat berbeda untuk teman yang lain karena latar belakang sifat dan kepribadian.
Selain itu, kita juga perlu mengembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan. Kita harus bisa menghargai nilai-nilai yang dipegang oleh teman kita walaupun kita tidak merasa cocok.
4. Mengembangkan rasa humor.
Selalu bertampang serius akan dianggap membosankan dan bersikap menggurui. Namun, bukan berarti bahwa kita harus selalu melucu karena kita dapat dianggap tidak serius. Sebab itu, kita harus bisa melihat situasi dan kondisi teman kita. Rasa humor diperlukan ketika teman kita terlihat terlalu tegang atau cemas sehingga dapat membuat teman kita menjadi lebih rileks.
Rasa humor dapat juga membantu untuk mendapatkan perhatian dari teman kita atau ketika ingin menyampaikan sebuah topik menjadi lebih menarik. Jadi, sederhananya, suasana atau informasi haruslah dibuat serileks dan senyaman mungkin.
5. Memiliki minat terhadap dunia remaja.
Seorang pendidik harus mengetahui isu-isu yang sedang tren di kalangan remaja dan bahasa-bahasa pergaulan remaja. Sebab itu, kita harus memiliki pengetahuan yang luas.
6. Memiliki dasar-dasar keterampilan konseling.
Dalam belajar menjadi pendidik sebaya, kita perlu mengetahui dua sikap dasar, yaitu sikap netral (non judgmental) dan menyadari keterbatasan diri.
Bersikap netral, tidak menilai bahwa perilaku itu salah atau benar, ketika teman bercerita tentang perilaku atau sikapnya dapat membantu kita memperoleh informasi tentang permasalahan dan alasan perilaku teman. Sementara sikap sadar akan keterbatasan diri dapat membantu dalam mengukur kemampuan diri kita untuk memutuskan apakah permasalahan yang dihadapi teman kita perlu dirujuk pada seorang ahli atau tidak.
(GALIH JALU DWI.N 101014230) 

Revitalisasi Bimbingan dan Konseling Dalam Era Globalisasi

Sejak tahun 1960, Bimbingan Konseling sudah dirasakan esensialnya dalam pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1975, pemerintah telah menetapkan bimbingan konseling dalam pedoman kurikulum1975. Undang – undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 6, mengukuhkan serta menegaskan bahwa konselor adalah pendidik, artinya Bimbingan Konseling merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan. Sebagai salah satu unsur sistem pendidikan, layanan bimbingan dan konseling mempunyai peran besar dalam membantu peserta didik dalam rangka mengembangkan kepribadiannya bagi peranannya dimasa yang akan datang. Dalam hal ini Konselor merupakan agent utama bagi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling dalam proses pendidikan.
Persoalan membimbing adalah persoalan semua orang, begitu pula dengan kewajiban membimbingpun adalah kewajiban semua orang. Dalam berbagai makna, proses bimbingan sebenarnya dilakukan oleh hampir semua orang. Pada saat manusia berkumpul dan membentuk sebuah kepentingan bersama, disadari ataupun tidak di situ proses pembimbingan mulai dilakukan.
Begitu juga dalam dunia pendidikan formal kita. Pendidikan yang diartikan sebagai sebuah usaha sadar manusia dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi manusia (siswa), tentu perlu kesadaran dalam melakukan upaya-upaya pembimbingan. Dengan kata lain, bimbingan yang dilakukan dalam pendidikan formal perlu dikelola secara profesional. Tidak sebagai tindakan trial and error atau sekadar untuk menutup kekurangan jam wajib mengajar.
Bimbingan konseling adalah proses pemberian bantuan secara sistematis dan intensif kepada siswa dalam rangka pengembangan pribadi, sosial, studi dan kariernya demi masa depannya yang dilakukan oleh konselor yang telah memiliki ketrampilan khusus dibidangnya. Drs M Ridwan MPd (1998) menegaskan bahwa pelaksanaan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah, antara lain bertujuan agar siswa dapat memahami dan menerima diri sendiri, serta merencanakan masa depan atas kekuatannya sendiri. Menurut Mursell (1993), ia menyatakan bahwa kegiatan BK yang berhasil mempunyai tekanan khusus yang mencakup empat aspek pokok, yakni
1) menurut esensinya BK mempunyai tujuan dan makna penuh, dan siswa sebagai subyek peduli pada makna itu
2) proses kegiatan BK ialah usaha mencari dan menemukan diri sendiri;
3) hasil-hasil dari proses BK dapat berupa pemahaman, pengertian, kejelasan, kesadaran, perubahan perilaku/kebiasaan, dan perkembangan
4) hasil-hasil demikian harus dapat dimanfaatkan siswa untuk menghadapi tantanganmasa depan dan kesempatan dalam hidupnya.
Sejalan dengan semangat “Pendidikan Untuk Semua” yang membawa imp[likasi semua sekolah wajibmenampung siswa dari berbagai latar belakang, maka dapat diperkirakan permasalahan yang dihadapi oleh para guru/sekolah berkaitan dengan masalah siswa akan semakin berkembang dan semakin rumit. Dengan mencermati tujuan dan gambaran kegiatan BK yang berhasil di atas maka yang selama ini menjadi kelemahan dan tidak dapat dijangkau oleh praksis pendidikan kiranya dapat digarap dan ditangani oleh BK. Hal ini merupakan salah satu argument mengenai pentingnya Revitalisasi BK sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pendidikan di sekolah.
Maka, dalam rangka revitalisasi dimaksud, setidaknya ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian bersama. Pertama, perlunya pemahaman yang proporsional terhadap keberadaan BK sebagai bagian tak terpisahkan dalam praksis pendidikan, baik oleh para penentu kebijakan, kepala sekolah, maupun tenaga kependidikan lainnya-yang diwujudkan dalam kebijakan, peraturan, dan perhatian yang memadai, sehingga BK tidak menjadi “anak tiri” di sekolah. Sekadar mengingatkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menegaskan bahwa pendidikan merupakan “usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa datang”. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa upaya pendidikan secara menyeluruh, lengkap, dan mantap meliputi tiga kegiatan pokok, yakni bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang saling terkait, saling menunjang, dan bahkan tidak bisa dipisahkan dengan lainnya.
Kedua, pentingnya disusun-dan terus diperbarui-format mengenai arah, strategi, dan bentuk kegiatan BK yang relevan dengan harapan dan tantangan yang ada saat ini dan masa depan. Guru pembimbing* (konselor sekolah) sangat membutuhkan acuan yang mencerahkan dan prospektif dalam melaksanakan tugasnya.
Ketiga, pentingnya guru pembimbing-baik secara perorangan maupun melalui kelompok profesi-terus-menerus meningkatkan kinerjanya. Berbagai bentuk keraguan atau anggapan “miring” tentang BK maupun guru pembimbing sudah sepantasnya disikapi secara positif, kreatif, dan proaktif. Dunia pendidikan dan masa depan bangsa sungguh membutuhkan kehadiran pelayanan BK yang “anggun” dan berwibawa!
(GALIH JALU DWI.N 101014230)

Konseling Lintas Budaya

A. Pengantar
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian da¬ri masyarakat di sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini meng¬artikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda¬-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu ben¬tuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar¬ pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea), tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal dengan istilah nilai/value (Kluckhohn, 1962, Albert. 1963. Dalam Biggs, Pulvino & Beck: 19 ... ;Fraenkel, 1977).
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi individu untuk mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku yang akan ditampakkannya. Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan menjadi suatu gaya hidup individu tersebut. Dengan demikian, yang diinginkannya untuk masa depannya sudah mulai tergambar (Weinstock & O'dowd, 1970. Dalam Biggs, Pulvino Beck, 19 ).
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada. Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja yang dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi, in¬dividu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat akan di¬lakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu untuk mengadopsi nilai nilai budaya tertentu.

B. Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan be¬berapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.

Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.

C. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi¬ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe¬narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan 1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:

1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman;
2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan dan masyarakat;
3. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hu¬bungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri;
4. Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebu¬dayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan;
5. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju kearah kesatuan kebuda¬yaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.

D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut:

Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.

Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain sebagainya.

2. Peran Masyarakat.

Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut:

“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur ¬membadut".

llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara meniru atau mencontoh.
Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu, masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1988)
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu, maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar reward and punishment). Dari sinilah proses pelestarian budaya itu bisa berjalan dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.

C. Konseling Lintas Budaya
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas buda¬ya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang bera¬sal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin¬ orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (indivi¬dual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai pada definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat konseling tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar¬ harus dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri¬-sendiri. Klien yang berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur. Klien yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal dari asia tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber ¬yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lon¬ner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan memba¬wa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyara¬kat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).

D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.

1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual differences).

2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::

Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori konse!ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing masing penemunya. Oleh karena itu, teori-teori konseling yang diciptakan ada kemungkinan tidak akan terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga, tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor semakin tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui moral dan muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang cocok (fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang berbeda pula muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan pada bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepen¬tingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor, “Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan seobyektif mungkin?”

4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup.
Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak konselor. Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor tidak boleh secara mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan konselor.
Klien datang ke ruang konseling seringka!i dengan membawa masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya. Masalah ini seringkaii memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor ¬yang tidak sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya.
Intervensi nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai yang dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor.
Jika perbedaan yang muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu adalah langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan itu demi kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan melanggar kode etik profesi konseling.

5. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Dalam melaksanakan konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien. Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling.
Hal demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya yang dimak¬sud.
Konselor sebagai pelaksana konseling di lapangan tentu saja harus dibekali dengan seperangkat ilmu yang dapat dipergunakan sebagai “senjata” untuk berhubungan dengan klien. Tanpa adanya seperangkat kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh konselor, maka sulit bagi konselor untuk bisa membantu klien mengatasi masalahnya.

a. kompetensi yang dikehendaki
Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling.
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai suatu budaya tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya

b. Karakteristik konselor yang efektif
Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia.
Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.

2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling !intas budaya.

3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.

4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.

5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik
Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pri¬bumi (indegenous).
(GALIH JALU DWI.N 101014230)

Landasan Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif

Landasan atau dasar program merupakan suatu keputusan awal dan menentukan yang harus diambil oleh pemegang kebijakan pendidikan di sekolah bagi terwujudnya suatu program bimbingan dan konseling sekolah. Merancang keputusan dasar yang kuat memerlukan usaha kerjasama semua unsur dan personel sekolah, termasuk dengan orang tua dan masyarakat, sehingga program bimbingan dan konseling bisa diterima dan memberikan manfaat bagi semua siswa. Dengan demikian, selama tahap pengembangan program bimbingan dan konseling, para stakeholder hendaknya bermusyawarah untuk menentukan filosofi, misi dan fungsi dan isi keseluruhan program. Dasar pengembangan program yang lengkap merupakan hal yang sangat penting untuk memastikan bahwa program bimbingan dan konseling sekolah menjadi suatu bagian utuh dari seluruh program pendidikan untuk keberhasilan para siswa.
        Proses penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah dilakukan melalui delapan tahap aktivitas, yaitu :
1)      mengkaji kebijakan dan produk hukum yang relevan;
2)      menganalisis harapan dan kondisi sekolah;
3)      menganalisis karakteristik dan kebutuhan siswa;
4)      menganalisis program, pelaksanaan, hasil, dukungan serta faktor-faktor penghambat program sebelumnya;
5)      merumuskan tujuan program baik umum maupun khusus;
6)      merumuskan alternatif komponen dan isi kegiatan;
7)      menetapkan langkah-langkah kegiatan pelaksanaan program, dan
8)      merumuskan rencana evaluasi pelaksanaan dan keberhasilan program.

1)     Mengkaji kebijakan dan produk hukum yang relevan;
Mengkaji kebijakan dan produk hukum yang relevan baik tingkat institusi (sekolah) maupun nasional dimaksudkan agar pengembangan program bimbingan dan konseling sekolah tidak bertentangan dengan kebijakan umum yang berlaku dan ditentukan oleh pemerintahan pusat, daerah maupun sekolah sebagai tempat implementasi program. Karena itu,  sebelum memulai melakukan penyusunan program konselor perlu mengkaji terlebih dahulu produk-produk kebijakan  yang berlaku. Sebagai contoh dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan tidak mungkin suatu sekolah menggunakan standar kurikulum selain yang ditentukan dan diberlakukan secara nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS).

2)    Menganalisis harapan dan kondisi sekolah;
Menganalisis harapan dan kondisi sekolah  merupakan langkah yang harus dilakukan konselor untuk mengetahui keadaan, kekuatan, kelemahan atau kekurangan sekolah. Sangat tepat jika dilakukan analisis dengan teknik SWOT (Strengt, Weakness, Oppornuty, Treath),  sehingga dapat diketahui secara tepat  kekuatan, kelemahan, peluang atau kesempatan, dan ancaman yang dihadapi sekolah. Dalam melakukan analisis ini, jika diperlukan sekolah dapat meminta bantuan tenaga ahli. Merumuskan tujuan yang ingin dicapai sekolah ditetapkan berdasarkan atas kebijakan yang berlaku dan analisis kondisi sekolah.

3)    Menganalisis karakteristik dan kebutuhan siswa;
Program bimbingan dan konseling merupakan rancangan aktivitas dan kegiatan yang akan memfasilitasi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Artinya, program bimbingan dan konseling di sekolah harus menyediakan sistem layanan yang bermanfaat bagi kemajuan akademik, karir dan perkembangan pribadi-sosial para siswa dalam menyiapkan dan menghadapi tantangan masa depan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan bangsanya di masa depan. Berdasarkan itu semua, maka semua pemegang kebijakan pendidikan di sekolah lebih memahami karakteristik dan kebutuhan siswa yang merupakan subjek layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
         Data atau informasi tentang karakteristik dan kebutuhan siswa merupakan komponen atau faktor-faktor yang berkaitan dengan penentuan tujuan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Data yang sudah terkumpul  perlu dianalisis secara cermat dan komprehensip (menyeluruh), untuk kemudian ditafsirkan dan diimplementasikan dalam beberapa alternatif rencana program bimbingan dan konseling di sekolah. Alternatif program tersebut harus dievaluasi dan dipilih mana yang memiliki peluang paling besar untuk mencapai tujuan, tetapi paling hemat dalam menggunakan tenaga, waktu, dan biayanya.


4)        Menganalisis program, pelaksanaan, hasil, dukungan serta faktor-faktor penghambat program sebelumny

Sebelum alternatif program bimbingan dan konseling yang dipilih dilaksanakan, konselor perlu menjabarkan secara rinci program itu sampai dengan tahap-tahap pelaksanaannya. Dalam setiap tahap pelaksanaan, paling tidak harus jelas mengenai: (1) sasaran yang ingin dicapai, (2) kegitan yang akan dilakukan, (3) siapa pelaksana dan penanggung jawabnya, (4) kapan waktu pelaksanaanya, dan (5) sarana atau pra sarana dan dana yang diperlukan.

5) Sistem manajemen program bimbingan dan konseling
            Apakah suatu sekolah dapat melaksanakan layanan bimbingan dan konseling tanpa membuat suatu program kegiatan bimbingan dan konseling? Misalnya, pada suatu sekolah hanya memiliki seorang konselor yang memiliki kompetensi dan kualifikasi professional sebagai konselor, sedangkan guru mata siswaan, wali kelas dan staf  sekolah lainnya dan tidak ikut melibatkan diri dalam kegiatan  layanan bimbingan dan konseling. Cara kerja dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling seperti ini  tidak menunjukan adanya suatu kelompok bimbingan dan konseling (team work) yang sinergis. Cara kerja dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling semacam ini bisa saja dilaksanakan tetapi tidak memiliki dampak yang positif dalam membantu perkembangan opkelompokal siswa. Tanpa perencanaan program, layanan bimbingan dan konseling tampaknya praktis dan simpel, tetapi mempunyai banyak kelemahan diantaranya : 1) program yang tidak didasari pemikiran secara  matang mengakibatkan program kurang dapat dipertanggung jawabkan, 2) tidak ada kontinyuitas  dalam pelayanan,   3) sukar untuk mengevaluasi kerja yang telah dilalukan. Apakah pelayanan itu betul-betul relevan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada, akan lebih sukar dilakukan pengecekan. Dengan membuat rencana program bimbingan dan konseling, layanan kepada subjek sasaran akan lebih baik, kebutuhan dapat dilayani, di samping tenaga dan fasilitas lain dapat dimanfaatkan secara efisien.
            Program bimbingan dan konseling memuat unsur-unsur yang terdapat dalam berbagai ketentuan tentang pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah seperti: (1) visi dan misi, (2) tujuan, (3) kegiatan, (4) strategi dan atau teknik, (5) pelaksana dan penanggung jawab, (6) waktu, (7) tempat, (8) biaya dan fasilitas lainnya, (9) rencana evaluasi. Murro & Kottman (1995) mengemukakan bahwa struktur program bimbingan komprehensif diklasifikasikan ke dalamempat jenis layanan yaitu (a) layanan dasar bimbingan, (b) layanan responsif, (c) layanan perencanaan individual, (d) dukungan sistem.

A.      Layanan Dasar Bimbingan
Layanan dasar bimbingan merupakan layanan bantuan bagi siswa melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu siswa mengembangkan potensinya secara opkelompokal.
Layanan ini bertujuan untuk membantu semua siswa agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh keterampilan dasar hidupnya. Tujuan layanan ini dapat juga dirumuskan sebagai upaya membantu siswa agar:
1.    Memiliki kesadaran, pemagahaman diri tentang diri dan lingkungan
2.    Mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi tanggung jawab atau seperangkat tingkah laku yang tepat
3.    Mampu menangani atau mamanuhi kebutuhan dan masalahnya, serta mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.

B.       Layanan responsif
Komponen layanan responsif dalam program bimbingan dan  konseling sekolah, terdiri atas kegiatan-kegiatan untuk menemukan kebutuhan dan persoalan yang tengah dihadapi siswa. Penyelesaian kebutuhan atau persoalan ini memerlukan konseling, konsultasi, pengalihan, fasilitasi maupun informasi dari teman sebaya. Komponen ini disediakan bagi seluruh siswa dan seringkali siswa diberi inisiasi melalui self-referral. Bagaimanapun guru, orangtua/wali dan orang lain bisa juga membantu siswa. Walaupun konselor sekolah memiliki keterampilan dan pelatihan khusus dalam merespon kebutuhan dan persoalan semacam ini, kerjasama dan dukungan dari seluruh pihak sekolah dan seluruh staf tetap diperlukan bagi suksesnya implementasi program layanan responsif.
Layanan responsif disampaikan melalui strategi-strategi seperti,
konsultasi: konselor berkonsultasi dengan orangtua/wali, guru, tenaga pendidik lain atau dengan agen masyarakat mengenai strategi untuk membantu siswa dan keluarga. konselor tampil sebagai advokat bagi siswa.
    Konseling individual dan kelompok kecil: konseling diberikan dalam suatu kelompok kecil atau atas dasar individual bagi siswa dalam mengungkapkan kesulitasn-kesulitan yang berkenaan dengan hubungan, masalah pribadi atau tugas-tugas perkembangan pribadi mereka. konseling individual dan kelompok kecil membantu siswa dalam mengidentifikasi masalah, sebab-sebab, alternatif, dan konsekuensi yang mungkin terjadi, sehingga mereka dapat mengambil tindakan yang tepat. konsleing semacam ini pada dasarnya berjangka pendek. konselor sekolah tidak memberikan terapi. jika diperlukan, pengalihan dibuat terhadap sumber-sumber masyarakat yang tepat.
     Konseling krisis : konseling krisis memberikan pencegahan, intervensi dan tindak lanjut. Konseling dan dukungan diberikan pada siswa dan keluarga dalam menghadapi situasi darurat. Konseling semacam ini biasanya jangka pendek dan bersifat sementara, saat dibutuhkan, pengalihan dapat dibuat terhadap sumber-sumber masyarakat yang tepat. Konselor sekolah dapat memegang peran sebagai pemimpin dalam proses intervensi krisis suatu kelompok dalam lembaganya.
     Alih tangan (referal) : konselor menggunakan sumber acuan untuk menangani kasus krisis seperti keinginan bunuh diri, kekerasan, pelecehan, depresi dan kesulitan keluarga. sumber acuan ini bisa meliputi agen-agen kesehatan mental, tenaga kerja dan program pelatihan, layanan bagi remaja serta layanan sosial dan kemasyarakatan lainnya.
Fasilitasi oleh teman sebaya : banyak konselor melatih siswa sebagai perantara teman sebaya, manajer konflik, tutor maupun mentor. Teknik-teknik pemecahan masalah dan resolusi konflik digunakan untuk membantu siswa belajar bagaimana mereka bergaul dengan orang lain. Melalui perantara teman sebaya, siswa dilatih dalam suatu sistem agar berguna bagi teman terdekatnya yang sedang memiliki masalah dalam bergaul dengan orang lain.

C.      Perencanaan individual
Dalam perencanaan individual, konselor sekolah mengkoordinasikan kegiatan secara sistemik dan berkelanjutan serta dirancang untuk membantu siswa secara individual dalam menetapkan tujuan pribadi dan mengembangkan rencana mereka di masa depan. Konselor sekolah mengkoordinasikan kegiatan bantuan bagi seluruh rencana siswa, mengawasi dan menangani proses belajar siswa termasuk menemukan kompetensi dalam area akademis, karir dan perkembangan pribadi-sosialnya. Dalam komponen ini siswa mengevaluasi tujuan edukasional, okupasional dan tujuan personal mereka. Konselor sekolah membantu siswa membuat pilihan dari sekolah ke sekolah, sekolah ke pekerjaan maupun sekolah ke pendidikan tinggi atau karir setelah mereka lulus dari suatu sekolah.
Aktivitas ini umumnya disampaikan atas suatu dasar individual atau dengan bekerja sama dengan individu lain dalam kelompok kecil maupun kelompok penasehat. Orangtua atau wali bersama personil sekolah lainnya seringkali terlibat dalam aktivitas semacam ini. Penyampaian sistematis tentang perencanaan individual bagi tiap siswa meliputi strategi yang terdokumentasi bagi keberhasilan siswa.
Perencanaan individual bagi siswa diimplementasikan melalui beberapa strategi sebagai berikut:
1)   Penilaian indiuvidual/kelompok kecil: konselor sekolah mengadakan analisis dan evaluasi terhadap kemampuan, minat, keterampilan, dan prestasi siswa. uji informasi dan data lainnya sering digunakan sebagai dasar bagi pemberian bantuan pada siswa dalam mengambangkan rencana jangka pendek dan jangka panjang mereka.
2)   Pemberian saran pada individual/kelompok kecil: konselor sekolah memberi saran pada siswa dengan menggunakan informasi pribadi/ sosial, karir dan pasar tenaga kerja dalam perencanaan tujuan pribadi, edukasional dan okupasional siswa. keterlibatan siswa, orangtua/wali dan pihak sekolah dalam merencanakan program siswa yang sesuai dengan kebutuhan mereka merupakan hal yang penting.

D.      Dukungan sistem
Dukungan sistem terdiri atas aktivitas manajemen yang membentuk, memelihara dan meningkatkan efektivitas serta efisiensi bimbingan dan konseling sekolah secara keseluruhan. Konselor sekolah menggunakan keterampilan kepemimpinan serta advokasi mereka untuk mempromosikan perubahan yang sistemik dengan cara berkontribusi dalam aspek-aspek seperti dibawah ini,
a) pengembangan profesional: konselor sekolah terlibat secara rutin dalam memperbaharui dan membagi pengetahuan serta keterampilan profesional mereka melalui :
1)   Pelatihan in-servis : konselor sekolah menghadiri pelatihan in-servis sekolah untuk menjamin keterampilan mereka akan diperbaharui di bidang pengembangan kurikulum, teknologi dan analisis data. Mereka juga diberikan pengajaran in-servis yang ada dalam kurikulum bimbingan dan konseling sekolah serta bidang-bidang lainnya yang berkaitan dengan sekolah dan masyarakat.
2)   Keanggotaan asosiasi profesional : seiring dengan konsep dan orientasi bimbingan dan konseling sekolah yang terus berubah dan berkembang, konselor sekolah dapat meningkatkan  kompetensi mereka dengan cara mengikuti konferensi dan pertemuan-pertemuan  asosiasi profesional.
3)  Pendidikan pasca kelulusan: sejalan dengan penyelesaian rangkaian pekerjaan di sekolah, konselor sekolah hendaknya menambah wawasan dan kemampuan dengan mengikuti pendidikan lanjutan yang berkontribusi terhadap kualitas profesinya.
b)     Konsultasi, kolaborasi dan pembentukan kelompok: melalui konsultasi, pembentukan partner, kolaborasi dan pembentukan kelompok, konselor sekolah memberikan kontribusi penting bagi sistem sekolah.
1)  Konsultasi: konselor hendaknya berkonsultasi dengan guru, staf sekolah dan orangtua/wali siswa secara rutin dengan tujuan untuk memperoleh informasi, memberi dukungan pada komunitas sekolah dan untuk menerima umpan balik atas kebutuhan siswa.
2)   Pembentukan partner dengan staf, orangtua/wali serta masyarakat terkait: hal ini melibatkan orientasi staf, orangtua/wali, dunia bisnis dan industri, organisasi sosial serta anggota masyarakat dalam program konseling sekolah yang komprehensif melalui aktivitas seperti partnership, media lokal, surat kabar, dan presentasi.
3)   Pengembangan jaringan: aktivitas yang termasuk dalam area ini dirancang untuk membantu konselor agar mendapat pengetahuan tentang sumber daya dalam masyarakat, agen referral, situs-situs, kesempatan kerja dan informasi tentang bursa kerja lokal. hal ini bisa juga mencakup kunjungan konselor ke lembaga bisnis-bisnis lokal, industri dan agen atas dasar kebiasaan.
4   Badan penasehat : konselor sekolah aktif dalam pelayanan di badan-badan penasehat, komite masyarakat dan sebagainya dengan cara mendukung program-program lain di dalam sekolah dan masyarakat,  maka konselor sekolah akan mendapatkan dukungan bagi program bimbingan dan konseling sekolah.

c)      Manajeman dan operasi program: aktivitas ini mencakup perencanaan dan tugas-tugas manajemen yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas yang dilaksanakan dalam program bimbingan dan konseling sekolah mencakup juga tanggung jawab yang harus dipikul sebagai anggota staf sekolah.
1)    Aktivitas manajeman: meliputi pembiayaan, fasilitasi, kebijakan dan prosedur, serta penelitian dan pengembangan sumber daya.
2)  Analisis data: konselor menganalisis kaitan antara prestasi siswa dan program bimbingan dan konseling. Kegiatan ini berguna untuk mengevaluasi program bimbingan dan konseling, melakukan penelitian terhadap aktivitas yang dihasilkan serta menemukan jurang pemisah antara kelompok-kelompok siswa yang perlu diluruskan. Analisis data membantu pengembangan program bimbingan dan konseling sekolah beserta sumber-sumber di dalamnya.
3)   Pembagian tanggung jawab secara adil: sebagai anggota dalam sistem pendidikan, konselor sekolah harus menampilkan pembagian tanggung jawab secara adil.

1.    Program Evaluasi

Evaluasi program bimbingan dan konseling bukan merupakan kegiatan akhir. Artinya, kegiatan evaluasi merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan atau lebih tepat bila dikatakan siklus sebab tidak berhenti sampai terkumpulnya data atau informasi, tetapi data atau informasi itu digunakan sebagai dasar kebijakan atau keputusan dalam pengembangan program bimbingan dan konseling selanjutnya. Karena itu kegiatan evaluasi program bimbingan dan konseling hendaknya memperhatikan prosedur dan langkah-langkah serta metoda atau strategi yang harus digunakan.
Prosedur evaluasi, yaitu meliputi serangkaian kegiatan yang berurut sebagai berikut :
a.  Identifikasi tujuan yang akan dicapai
Melakukan identifikasi terhadap tujuan yang ingin dicapai sangat  penting karena memberikan arah pekerjaan yang akan dilaksanakan. Artinya selama melakukan evaluasi tetap mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan. Langkah awal kegiatan evaluasi adalah menetapkan parameter atau batasan-batasan yang akan dievaluasi, dapat dipusatkan pada program bimbingan dan konseling secara keseluruhan atau pada tujuan khusus secara terpisah-pisah. Tujuan itu hendaknya jelas, singkat, operasional dan dapat diukur.

b.  Pengembangan rencana evaluasi
Pengembangan rencana evaluasi merupakan langkah lanjutan setelah menetapkan tujuan yang ingin dicapai. Komponen-komponen rencana evaluasi program bimbingan dan konseling yang perlu dikembangkan antara lain:
1)      data atau informasi yang dibutuhkan;
2)     alat pengumpulan data yang digunakan;
3)      sumber data atau informasi yang dapat dihubungi;
4)     personel pelaksanaan;
5)      waktu pelaksanaan;
6)       kriteria penilaian; dan
7)     bagaimana pelaporan dan pada siapa laporan itu disampaikan.

c.        Pelaksanaan Evaluasi
Setelah rencana itu disusun dan disetujui, pelaksanaan evaluasi program bimbingan dan konseling dan konseling dan konseling dan konseling dan konseling bergantung pada cara/metoda yang digunakan. Prinsip pelaksanaan evaluasi perlu memperhatikan faktor-faktor yang telah direncanakan sehingga terjadi berinteraksi antara faktor yang satu dengan lainnya dan dapat membantu pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

d.      Pelaporan dan Pemanfaatan Hasil Evaluasi
Pelaporan dan pemanfaatan hasil evaluasi dianggap sangat penting sebab langkah ini merupakan bentuk konkrit sikap akuntabilitas atas program dan hasil kegiatan yang telah dilakukan seorang konselor beserta staf yang lainnya. Hasil kegiatan evaluasi yang baik adalah yang dapat memberikan sumbangan pertimbangan dalam membuat kebijakan dan keputusan selanjutnya. Program bimbingan dan konseling  itu diganti, diubah atau dikembangkan semata-mata berdasarkan hasil evaluasi. 
(GALIH JALU DWI.N 101014230)