Pendidik sebaya atau peer educator adalah
suatu prinsip yang bekerja menurut dasar dari remaja, untuk remaja, dan
oleh remaja. Umumnya, kita akan lebih terbuka dan bebas ngomongin
permasalahannya dengan teman-teman yang seusia. Metode ini secara
sederhana menggunakan teman sebaya/seusia sebagai konselor/pendidik
untuk membantu teman lainnya agar dapat mengambil keputusan sendiri atas
permasalahan yang dihadapinya.
Makanya, pendidik sebaya hanya berperan
seperti sebuah cermin. Sebab, dia hanya merefleksikan perilaku atau
memperlihatkan sisi lain yang mungkin terabaikan. Dengan demikian,
remaja dapat menilai perilakunya sendiri kemudian mengambil suatu
keputusan yang tepat bagi dirinya.
Namun, untuk menjadi seorang pendidik sebaya yang benar bukanlah hal gampang karena ini menyangkut kepribadian kita.
Bagaimana orang
lain mau terbuka dan berkata jujur kalau ternyata kita dikenal suka
”ngember” atau dicap ”telmi” (telat berpikir). Jadi, syarat pertama
menjadi pendidik sebaya adalah memiliki sifat bisa dipercaya, jujur,
perhatian/empati, dan cerdas.
Jika kita merasa memiliki sifat itu,
barangkali kita bisa sedikit berbangga karena kita lolos syarat pertama
untuk dapat menjadi seorang pendidik sebaya. Namun, tunggu dulu. Itu
semua belum cukup. Kita masih harus membekali diri dengan beberapa
karakteristik berikut:
1. Penerimaan terhadap dorongan remaja.
Berfantasi merupakan hal wajar dilakukan
setiap orang. Kadang-kadang dorongan atau fantasi dapat digolongkan
dalam kelompok ”positif” (impian), misalnya dorongan untuk menjadi juara
kelas, atau kelompok ”negatif” (fantasi). Oleh sebab itu, sebagai
pendidik sebaya, langkah pertama kita harus bisa menerima apa pun macam
impian atau fantasi teman kita.
Namun, yang perlu ditekankan oleh
pendidik sebaya adalah impian atau fantasi yang bersifat merugikan tidak
sampai diwujudkan ke perilaku. Sebab itu, kita perlu memberikan
informasi yang berimbang tentang akibat positif dan negatif apabila
fantasi atau impian itu dilakukan. Dengan demikian, dalam proses
pengambilan keputusan, teman kita mampu mempertimbangkan secara matang.
2. Memiliki sikap percaya diri.
Seorang pendidik sebaya harus mampu
mengembangkan sikap positif terhadap dirinya. Sikap positif tersebut
akan membantu meningkatkan kepercayaan diri kita dalam berinteraksi atau
memberikan informasi kepada teman kita. Sebaliknya, apabila kita tidak
mampu mengembangkan kepercayaan diri, kita akan sulit untuk
berinteraksi.
Selain harus mampu meningkatkan
kepercayaan diri, pendidik sebaya juga harus mampu meningkatkan
kepercayaan diri temannya agar dapat menerima kelebihan dan kekurangan
dirinya.
3. Toleransi pada perbedaan.
Tidak ada seorang pun yang memiliki sifat
identik, bahkan anak kembar sekalipun. Hal ini berarti bahwa seorang
pendidik sebaya harus memperlakukan setiap orang secara berbeda.
Pemecahan untuk satu permasalahan yang sama antara teman yang satu dapat
berbeda untuk teman yang lain karena latar belakang sifat dan
kepribadian.
Selain itu, kita juga perlu mengembangkan
sikap toleransi terhadap perbedaan. Kita harus bisa menghargai
nilai-nilai yang dipegang oleh teman kita walaupun kita tidak merasa
cocok.
4. Mengembangkan rasa humor.
Selalu bertampang serius akan dianggap
membosankan dan bersikap menggurui. Namun, bukan berarti bahwa kita
harus selalu melucu karena kita dapat dianggap tidak serius. Sebab itu,
kita harus bisa melihat situasi dan kondisi teman kita. Rasa humor
diperlukan ketika teman kita terlihat terlalu tegang atau cemas sehingga
dapat membuat teman kita menjadi lebih rileks.
Rasa humor dapat juga membantu untuk
mendapatkan perhatian dari teman kita atau ketika ingin menyampaikan
sebuah topik menjadi lebih menarik. Jadi, sederhananya, suasana atau
informasi haruslah dibuat serileks dan senyaman mungkin.
5. Memiliki minat terhadap dunia remaja.
Seorang pendidik harus mengetahui isu-isu
yang sedang tren di kalangan remaja dan bahasa-bahasa pergaulan remaja.
Sebab itu, kita harus memiliki pengetahuan yang luas.
6. Memiliki dasar-dasar keterampilan konseling.
Dalam belajar menjadi pendidik sebaya,
kita perlu mengetahui dua sikap dasar, yaitu sikap netral (non
judgmental) dan menyadari keterbatasan diri.
Bersikap netral, tidak menilai bahwa
perilaku itu salah atau benar, ketika teman bercerita tentang perilaku
atau sikapnya dapat membantu kita memperoleh informasi tentang
permasalahan dan alasan perilaku teman. Sementara sikap sadar akan
keterbatasan diri dapat membantu dalam mengukur kemampuan diri kita
untuk memutuskan apakah permasalahan yang dihadapi teman kita perlu
dirujuk pada seorang ahli atau tidak.
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar