A. Pengantar
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa
manusia diciptakan sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai
individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau individu
dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang
dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian da¬ri
masyarakat di sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi
pola kehidupan manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu
tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan yang lebih luas,
yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa
seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat
yang ada di sekelilingnya. Hal ini meng¬artikan pula bahwa individu
tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam
keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat
dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa
benda¬-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara
kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat
tersebut menciptakan suatu ben¬tuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya
yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang
dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya
akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat
tertentu (Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang
telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan secara
turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses
kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua
untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi
nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang
berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar¬ pergaulan di
dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia
mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia
akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku
mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh
masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi
masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau
kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat
dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga
menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan
ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul
di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea),
tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya
sangat mendasar dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific
behavior). Hal ini lebih dikenal dengan istilah nilai/value (Kluckhohn,
1962, Albert. 1963. Dalam Biggs, Pulvino & Beck: 19 ... ;Fraenkel,
1977).
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi
individu untuk mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku
yang akan ditampakkannya. Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan
menjadi suatu gaya hidup individu tersebut. Dengan demikian, yang
diinginkannya untuk masa depannya sudah mulai tergambar (Weinstock &
O'dowd, 1970. Dalam Biggs, Pulvino Beck, 19 ).
Nilai yang dimiliki
oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada. Lingkungan
terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan
menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja
yang dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih
luas lagi, in¬dividu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di
masyarakat. Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu
untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang berkembang di
masyarakat akan di¬lakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media
massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan
oleh individu untuk mengadopsi nilai nilai budaya tertentu.
B. Budaya
Dalam
kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan
siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat
dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan
be¬berapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda
dengan apa yang selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi
seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku
sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia
berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain
sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang
pula dengan adanya "restu" dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya
kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat
disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan oleh individu
bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal.
Definisi
kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan
pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari
pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam
Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut,
kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung
ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan
kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan
kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi
antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai nilai dan
peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot,
1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam
Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri
dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola
tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan
karya khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam
bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide
tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada
satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain,
sebagai penga¬ruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.
Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya
berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap
dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat),
dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai
bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib
dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto
(1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta
yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang
berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa
suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu
(walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya
kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan
mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat
tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari
"tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat
baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau
buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh
individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu
mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan
ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan
demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat
mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.
C. SIFAT BUDAYA
Sifat
budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya
yang khas (unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai
nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini
dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat
manusia yang ada dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai tersebut.
Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan
hidupnya sendi¬ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan
perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya
yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu.
Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau
suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau
bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal
bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh
masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini
tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu.
Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat
dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai
budaya yang diyakini kebe¬narannya tersebut dapat dipergunakan untuk
membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai
budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara
tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang timbul dalam anggota
masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat
banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap
daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh
kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan
yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah
kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu
pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa
Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya
Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan
pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam
Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia (Rosjidan 1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal
dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan
statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus
menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut.
Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku
di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya
budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntut¬an jaman yang terus
berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan
lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak statis tersebut.
Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah
keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:
1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman;
2.
Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan
kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan dan
masyarakat;
3. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya
hu¬bungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan
(memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan
sendiri;
4. Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam
dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebu¬dayaan" yang menyalahi
tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan;
5. Kemajuan
kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri,
menuju kearah kesatuan kebuda¬yaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat
kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.
D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses
kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak
bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui
proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang
lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu
sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses
yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan
pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya
yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan
belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang
yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan
dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan
demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya
kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak)
karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak
secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang
tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak,
bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia
atau tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti.
Secara sadar. biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada
anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan
oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan
sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang
jawa akan mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa
mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau
makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini,
orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu
berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan simbol
simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan
tentang nilai nilai (budaya) sejak anak mereka masih bayi. Hal ini
tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan digendong oleh
ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri
ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk
menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak
langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan
pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang
tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai atau norma norma tertentu
kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh apa yang
telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut:
Semua
orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap
manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan.
Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu
yang merupakan budaya. Orang tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara
makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.
Orang jawa
mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai
tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan
mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau
dan lain sebagainya.
2. Peran Masyarakat.
Dari peran
lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran
lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan
suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri
yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah
yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada
masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan
tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988).
Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar
ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang
lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan
agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyara¬kat lainnya
(Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan
agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini dianutnya,.
Peran
masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah
sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku
dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia
berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang
berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai
beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat
seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan
hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan
dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang
seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka
secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum
pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990).
Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota
masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau
peraturan yang telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang
mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau budaya
bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada
suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako
(Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan
lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar.
Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang
demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi
mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan
¬peraturan yang mengikat dan masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak
terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan penuh
kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus,
dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu
tindakan tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa
mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa", biasanya mereka yang
melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu) dan tidak
akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari
sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari
seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain
sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana
dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu
kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom,
1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa
yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu
proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan
ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak
generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya
secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga
merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson
(dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan
proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian
jaya) sebagai berikut:
“Seorang yang berkedudukan penting, waktu
memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata khalayak ramai sedang
memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah menunjukkan sikap
yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai gerak
gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan
sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan
merasa bangga secara agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya
ialah membadut ... bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok
tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai
kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki
gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik perhatian, dan diantara
orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk diam
diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula
sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara
miniatur melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan
dalam upacara di kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan
menunjukkan sikap angkuh bercampur ¬membadut".
llustrasi di atas
memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan
bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara
cara meniru atau mencontoh.
Masyarakat akan memberikan hadiah
(reward) terhadap mereka mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang
telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward ini dapat
berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu,
masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota
masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari
konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam macam bentuk
seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada beberapa suku
jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya
(Koentjaraningrat, 1988)
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap anggota masyarakatnya itu, maka seseorang akan banyak belajar
tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar reward and
punishment). Dari sinilah proses pelestarian budaya itu bisa berjalan
dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala apa yang akan
dilakukan dan dipikirkan oleh individu.
C. Konseling Lintas Budaya
Dalam
mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas
dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah
disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian
budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu
(adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses,
(4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan
produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia
tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling lintas budaya
(cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam
mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai
nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson,
dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan
Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas
budaya secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka
konseling lintas buda¬ya akan dapat terjadi jika antara konselor dan
klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien
pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya
itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.
Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari
budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika
konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit
hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien
yang bera¬sal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja
terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda.
Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa
yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur
memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah,
mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita
ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa
Tengah. Mungkin¬ orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan
orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa
orang jawa Timur mempunyai nilai nilai sendiri yang berhubungan dengan
kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus
dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa
Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai nilai, ide, pikiran
dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus".
Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk
disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan
tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari,
konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang
sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam
penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan
terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan
negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang
negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah
atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa
mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini
dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka
memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai
pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan
dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991;
Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan
klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian
adanya perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia
adalah berbeda (indivi¬dual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah
apakah kita hanya sampai pada definisi konseling lintas budaya saja?
Apakah keadaan demikian membuat konseling tidak perlu untuk
dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi
konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama
dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka
konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien
seutuhnya ini berarti konselar¬ harus dapat memahami budaya spesifik
yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia
secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik
mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami
budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan
adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap
klien akan membawa budayanya sendiri¬-sendiri. Klien yang berasal dari
budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur.
Klien yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal
dari asia tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik
yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini,
konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber ¬yang menunjang
seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien.
Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya
memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang
bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui
budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami
kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah
konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lon¬ner &
ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa
klien sebagai individu yang selalu berkembang akan memba¬wa nilai nilai
sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa
budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa
seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai
individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai nilai yang
akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh
klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama
ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh
konselor. Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling, tidak bisa
dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara
universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di
masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja
kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyara¬kat di dunia
ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap
hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini
mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada
saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai
dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor
perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran
akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya
akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal.
Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi
konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa
yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut
Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga
elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya
(tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya
(tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih
lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991)
dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1)
latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang
budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah
yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang
mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan
yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam
pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi
lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor
dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor
akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia
berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari,
lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana
konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh
dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan
masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas
perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama.
Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya.
Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai
dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan
mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi
yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status
seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi, serta variabel etnografi
seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980;
Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens,
1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).
D. Aplikasi di Sekolah
Dalam
proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor
sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent)
dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling
dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya
disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam
bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut
Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang
efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5.
jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan
keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman
dan gaya hidup mereka.
Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.
1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam
melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh
terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam
melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai
yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang
sesuai dengan tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari
lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa
dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda
latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor
sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat
nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat
nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai
nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang
dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat
berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak
tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor tentu memahami adanya tugas
tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain itu, konselor
juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang
dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang
individu yang ada secara berbeda (individual differences).
2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::
Dalam
pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori
konse!ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat
berdasarkan kepentingan para penemunya masing masing atau dapat
dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas
dari pengalaman pribadi masing masing penemunya. Oleh karena itu,
teori-teori konseling yang diciptakan ada kemungkinan tidak akan
terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga, tidak akan dapat
terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan
muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor semakin tajam
dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui moral dan
muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut
berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu.
Dengan demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang
cocok (fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang
berbeda pula muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
Anggota
masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan pada
bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda
dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas
dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan
terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan
sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi
kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio
budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita
adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun
yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli
jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepen¬tingan politik
tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan
antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan
meruntuhkan budaya yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat
fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa pergolakan yang
terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada kepentingan
politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa
dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor,
“Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”,
“Bagaimana budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan
seobyektif mungkin?”
4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup.
Konselor
yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien
sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak
konselor. Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya
yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor tidak boleh secara
mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan
konselor.
Klien datang ke ruang konseling seringka!i dengan membawa
masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang
dimilikinya. Masalah ini seringkaii memunculkan perbedaan dengan
konselor. Konselor ¬yang tidak sadar akan nilai nilai budaya yang
berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan perbedaan itu.
Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin
mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya.
Intervensi
nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan.
Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh
konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan
mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan
berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai yang
dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor.
Jika perbedaan yang
muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada
cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling yang telah
berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu adalah
langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan itu demi
kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka
kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan
melanggar kode etik profesi konseling.
5. Jujur dalam konseling
eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka
untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Dalam melaksanakan
konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya
kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah
dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien.
Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional
yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien
akan mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling.
Hal
demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau
pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor
harus benar benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk
membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan
budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar
mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang
berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya
dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu
masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan
masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa
memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar belakang budaya yang
dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar
benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan
budaya yang dimak¬sud.
Konselor sebagai pelaksana konseling di
lapangan tentu saja harus dibekali dengan seperangkat ilmu yang dapat
dipergunakan sebagai “senjata” untuk berhubungan dengan klien. Tanpa
adanya seperangkat kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh
konselor, maka sulit bagi konselor untuk bisa membantu klien mengatasi
masalahnya.
a. kompetensi yang dikehendaki
Untuk menunjang
pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai
spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan
bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran,
pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus
benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan
klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar
akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada
klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Hal ini
menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan
memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang
dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya
karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang
dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki
oleh konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat
dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling.
Pengetahuan,
konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan pengetahuannya
mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki
oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya
dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang
dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang
dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang
ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian
saja, tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu
sendiri. Hal ini akan semakin mempermudah konselar untuk menambah
pengetahuan mengenai suatu budaya tertentu.
Keterampilan, konselor
lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan
dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda.
Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka
konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan
kebutuhan. Misal, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka
konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika
konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor
akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku.
Tiga kompetensi
di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan
dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor
untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya
b. Karakteristik konselor yang efektif
Dalam
pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk
mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di
atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri
ciri khusus dari konselor yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas
budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa
karakteristik konselor sebagai berikut:
1. Konselor lintas budaya
sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi
terbaru tentang perilaku manusia.
Dalam hal ini, konselor yang
melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia
memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus
sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus
dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus
menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai
nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka
konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus
mempelajarinya.
2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap
pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu
karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu
konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama
mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling !intas
budaya.
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor
dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang
berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan
dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku
tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di
indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357
etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Untuk
mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar
dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan
mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di
sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan
atau pertentangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas
budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami
budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada
aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai
kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa konselor tidak
boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan
bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada
klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan
klien.
5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik
Pendekatan
eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk
menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu
memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu
klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling
eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan
pendekatan yang digali dari masyarakat pri¬bumi (indegenous).
(GALIH JALU DWI.N 101014230)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar